Wednesday 20 April 2016

I AM WRATH (2016)



John Travolta is back. Kali ini bermain di film action I am Wrath (2016) sebagai Stanley Hill, seorang ayah bahagia yang mencintai keluarganya. Kebahagian ini tiba-tiba direnggut oleh sekelompok orang suruhan. Mencoba melalui jalur formal dengan melapor polisi untuk menemukan pembunuh istrinya dan mengadili, justru ia berhadapan dengan polisi korup.

Didera rasa bersalah terhadap istri dan putrinya, ia bersama kawan lamanya menuntut keadilan versi mereka. Stanley Hill pun kembali ke jati diri yang telah lama dikuburnya memburu gembong narkoba dan pejabat yang melindunginya.

Menonton film ini mau tidak mau mengingat kembali alur cerita film The Equalizer-nya Denzel Washington atau John Wick-nya Keanu Reeves. Sama-sama menggambarkan sosok jagoan yang hidup sendiri dan kesepian. Menyembunyikan masa silamnya, dan muncul kembali karena keadaan yang memaksa.

I am Wrath beralur linear dan sepertinya judulnya, ingin menggambarkan kekecewaan dan kemurkaan Stanley Hill pada nasib dan sistem. John Travolta cukup mampu berakting menggambarkan rasa murka ini, meski tidak sekeren di Pulp Fiction (1994) atau Face/Off (1997). Namun, rasanya tak bisa melepas sosok Robert 'Bob McCall di The Equalizer yang cool, tak banyak cakap, namun efektif bertindak. 

Secara keseluruhan film ini menghibur untuk ditonton, terutama yang suka jenis action dan tak mau mengerenyitkan dahi untuk memahami cerita hingga akhir.

Selamat menonton...

~ elha score: 6/10

JANE GOT A GUN (2016)

Jane Got A Gun direlease serentak di bioskop Indonesia hari Rabu ini, 20 April 2016. Film ini bergenre western-action dan bersetting tahun 1817 di kota New Mexico City, berkisah tentang seorang wanita yang karena karena suatu keadaan yang memaksa mesti berjuang demi keluarganya.

Adalah Jane Hammond (Natalie Portman) bersama sang suami Bill Hammond (Noah Emmerich) yang sedang membangun kehidupan baru dan telah menjauh dari jangkauan dan keterlibatan gangster John Bishop (Ewan McGregor). Namun, masa silam itu menemukan keberadaan mereka dan memburunya, sampai akhirnya si Jane harus turun tangan ketika sang suami terluka.

Sejak awal film sutradara Gavin O' Connor telah memberikan teka-teki kepada penonton tentang 'siapa Bill Hammond dan apa yang telah dilakukannya?'. Penjelasan teka-teki itu membawa penonton pada alur maju mundur dari tahun 1817 ke 1864 untuk memberi alasan logis kenapa gangster Bishop memburu keluarga Hammond. Meski bergenre sama, berbeda dengan The Hateful Eight (2015) yang mudah menumpahkan darah, JGAG terkesan lebih soft. Klimaks pertempuran baru di 25 menit terakhir film, walaupun di awal kita disajikan karakter Jane yang tidak segan-segan menghabisi lawan untuk membela diri.   

Sangat suka melihat penampilan Natalie Portman berbalut pakaian model akhir abad 19 yang panjang dan tertutup (jadi teringat film Brooklyn). Entah kenapa melihat wanita dengan busana panjang dan tertutup terkesan lebih sexy. Hmm...;). Namun, tak banyak yang ditawarkan pada scene panorama alam western, terkesan monoton dan suram. Berbeda misalnya ketika menikmati The Ravenant (2016) yang meski monoton bernuansa putih, namun terasa indah mengagumkan.  

Film ini menyiratkan sebuah kesetiaan dan ketegaran seorang wanita. Jangan kaget apa yang akan dilakukan seorang wanita untuk mempertahankan orang-orang yang dicintainya. Ketika disarankan untuk meninggalkan suami yang terluka - karena sebenarnya yang diburu adalah si suami, Jane membalas:

"...aku telah lelah berlari menghindar seumur hidupku, dan itu tidak menyelesaikan masalah. Harus aku hadapi untuk menyelesaikannya.."
   
Scene terakhir mengesankan. Ketika Jane menuju kota, menyobek poster-poster gangster untuk mengklaim hadiah, ia menyisakan satu poster. Gambar siapakah itu? 

Nah, sebelum menikmati tontonan cowboy western yang mulai ditayangkan hari ini, silakan dibaca-baca review-nya.

Sipp!

~elha score : 6/10      

Saturday 16 April 2016

EYE IN THE SKY (2015)

"...ketakutan terbesar dalam perang bukan terletak pada seberapa banyak dan canggih senjata dan amunisi yang dibawa, tetapi pada hilangnya empati..."

Film ini pertama kali direlease di Toronto International Film Festival pada bulan September 2015, tapi baru beredar di bioskop komersial di bulan April tahun ini. Eye in the Sky bergenre drama suspence yang berkisah tentang tanggung jawab, moral, hirarki dan seluk-beluk pengambilan keputusan dalam menangani teror.

Adalah Kolonel Katherine Powell - diperankan dengan sangat bagus oleh Helen Mirren - yang mengepalai sebuah misi: Egret Operation untuk menangkap sekelompok teroris yang masuk daftar 5 besar buruan. Sekelompok teroris ini tinggal di sebuah rumah di Nairobi, Kenya, dan sedang dalam intaian Badan Intelijen Inggris dengan menggunakan pesawat tanpa awak drone dan perangkat canggih lainnya. Kolonel Powell sudah mengejar buruannya ini selama 6 tahun, dan ini adalah pecapaian terdekatnya. 

Kolonel Powell yang berada di markas di London berkoordinasi dengan kesatuan AU AS yang berada di Nevada untuk mengendalikan pesawat tanpa awak. Sedangkan di tempat lain di London berkumpul pejabat-pejabat terkait berkoordinasi, menyaksikan, dan memberi keputusan terhadap jalannya operasi.

Awalnya Operasi Egret ini hanya penggerebekan markas dan penangkapan sekelompok teroris, namun seketika berubah menjadi 'good killing', setelah mengetahui para teroris sedang merencanakan sebuah aksi bom bunuh diri. Konflik terjadi ketika di sekitar lokasi ada seorang anak perempuan, Alia (Aisha Takow) yang sedang menjajakan roti bikinan ibunya. 

Mission: abort or continue? 

Film ini menyajikan teknologi pengintaian, perang jarak jauh dipadu dengan dilema moral dan kemanusiaan. Sutradara Gavin Hood mampu membawa emosi penonton untuk menyayangi Alia dan keluarganya dengan menampilkan wajah polos anak Afrika yang suka bermain dan patuh pada orang tua. Juga mampu ikut merasakan perasaan Kolonel Powell yang geregetan menunggu keputusan birokrat, dilema moral yang melanda kedua pilot pesawat tanpa awak, Steve Watts (Aaron Paul) dan Carrie Gershon (Phoebe Fox), dimana jentikkan jarinya akan mengeksekusi target dan berdampak di sekitarnya. Kita pun disuguhi keriuhan birokrasi dari  pejabat terkait yang seolah-olah melempar tanggung jawab.

Selain Helen Mirren, Aaron Paul pun bermain prima sebagai seorang pilot yang mengalami dilema moral, antara tanggung jawab dan kemanusiaan, sedangkan Alan Rickman (alm) yang berperan sebagai Jenderal atasan Powell sepertinya tak bisa menghilangkan logat Snape-nya di serial Harry Potter.  

Meskipun plot cerita mengkisahkan Badan Intelijen Inggris sebagai pemeran utama, tak menafikan keterlibatan Amerika sebagai negara digdaya dengan mudah memberi ijin eksekusi sambil asyik main pingpong seolah-olah 'mengabaikan' dampak korban yang ditimbulkan. Asal buruan lenyap dari daftar. Hmm..wajar karena ini film produksi Holywood, yang umumnya mem-pakem-kan negaranya harus adidaya - setidaknya di film.
   
Bagi yang menggemari genre perang head to head, film ini mungkin tidak memenuhi selera. Namun, bagi yang menyukai 'permainan emosi' lewat dilema moral, intrik pengambilan keputusan di belakang layar keputusan perang, film ini jangan dicoret dari daftar tontonan.

Lalu bagaimana dampak dari sebuah perang? Quote di awal film bisa mewakili perasaan kita:

"..dalam perang, hal pertama yang dikorbankan adalah kebenaran.."


~ elha score: 9/10 



FAN (2016)



FAN adalah film SRK pertama yang release dan tayang di tahun ini. Pada film ini SRK berperan ganda sebagai big star, Aryan Khanna, dan seorang fan, Gauvran Chandna. Bukan kali ini saja SRK berperan ganda, sebelumnya pada Rab Ne Bana di Jodi (2008) ia melakukan peran yang sama. Sebagai bintang besar dan fans pun pernah ia lakukan di Om Shanti Om (2007) dan Billu Barber (2009).

FAN bercerita tentang seorang fan yang berkeinginan kuat untuk bertemu sang idola tepat di hari ulang tahunnya. Ia begitu terobsesi dengan Aryan Khanna, sang idola, dan meniru apapun yang pernah dilakukan sang bintang. Untuk pergi menemuinya di Mumbai ia harus menggunakan kereta api yang sama - tanpa membayar tiket, persis seperti yang dilakukan oleh Aryan saat mulai merintis kepopulerannya. Pun mesti menginap di hotel dan kamar yang sama. Ia tak rela jika ada orang yang melecehkan sang bintang, bahkan rela berkorban nyawa membelanya.

Merasa sebagai the real fan, Gauvran merasa berhak meminta Aryan Khanna untuk meluangkan waktunya selama 5 menit bersamanya. Apakah sang idola punya waktu di sela-sela kesibukannya? Hmm...mungkin yang dikatakan Gauvran ini bisa menjadi petunjuk: "Yang menciptakan seseorang menjadi bintang adalah fans. Sekarang saatnya seorang bintang mengejar fan"

Film FAN ini bergenre drama thriller. Sutradara, Manesh Sharma, berusaha mencoba membawa penonton menyelami emosi seorang fan(atik) di satu sisi dan seorang mega star di sisi lain, mencoba menyusun ketegangan diantaranya. Mestinya sang sutradara lebih mampu mengeksplorasi gap ini sehingga ketegangan antara fan dan idola lebih mampu mengaduk emosi penonton. Mungkin karena ini adalah film thriller pertama yang ditangani Manesh Sharma yang identik dengan drama komedi (Band Baaja Baaraat, 2010; Ladies vs Ricky Bahl, 2011; Shuddh Desi Romance, 2013). Seperti biasa, SRK bermain total sebagai dirinya sendiri maupun sebagai fan.

Patut diapresiasi kepada team tata rias SRK yang berperan sebagai Gauvran yang berusia sekitar 20 tahun-an. Untuk memperoleh hasil seperti itu, sutradara bahkan harus mendatang pakar tata rias langganan Oscar, Greg Cannom, yang telah memenangkan 3 piala Oscar.

Sebenarnya ada satu soundtrack berjudul Jabra Fan, tapi waktu menonton lagu ini tidak terputar. Mungkin karena menontonnya pas jam tayang terakhir bioskop, padahal enak buat bergoyang...;)

Pesan yang ingin disampaikan film ini antara lain: jadilah dirimu sendiri, jangan menjadi peniru. Sehebat apapun kita mampu meniru, seorang copycat takkan bisa sehebat yang ditiru.

Selamat menonton... 

~ elha score: 7.5/10    
   

Saturday 9 April 2016

THE JUNGLE BOOK (2016)

Seperti Cinderella (2015), Disney rupanya konsisten dengan mengadaptasi cerita kasilk menjadi sebuah film sesuai cerita aslinya. Kisah The Jungle Book ini memang diadaptasi dari buku klasik populer berjudul sama karya Rudyard Kipling (1865-1936). 

Film diawali dengan narasi Bagheera (Ben Kinsley) yang menceritakan keberadaan seorang anak manusia, Mowgli (Neel Sethi), diantara kawanan serigala. Mowgli sedang belajar menjadi dan hidup sebagai seekor serigala, dan sayangnya - atau untungnya - ia tidak optimal melakukannya. Dalam beberapa kesempatan, secara naluri ia melakukan 'trik' yang biasa dilakukan seorang manusia.

"Aku tahu kamu tidak terlahir sebagai serigala, Mogwli. Tapi, berusahalah hidup seperti kawanan serigala lainnya", keluh Raksha (Lupita Nyong'o), ibu serigala angkat Mowgli.

Meskipun keberadaan seorang anak manusia di tengah rimba terasa aneh bagi kalangan hewan disana, mereka menerima Mowgli hidup bersama diantara mereka. Kembalinya Shere Kan (Idris Elba), seekor macan raja hutan, yang menentang keberadaan manusia di tengah hutan merusak keseimbangan itu. Mowgli harus pergi meninggalkan kawanan hewan untuk berkumpul dengan kawanan sesamanya. Rupanya, Shere Kan memiliki masa lalu yang melibatkan pertikaian antara dia dan manusia sehingga ia tidak mengijinkan manusia berada di sana. Kisah itu dan terdamparnya Mowgli di tengah hutan diceritakan di pertengahan film oleh seekor ular phyton raksasa, Kaa (Scarlett Johansson, salah satu aktris favorit penulis nih...). 

Mowgli pun berhadapan dengan dilema, antara tetap tinggal di hutan yang sudah sangat dikenalnya namun jiwanya terancam oleh Shere Kan atau pergi ke perkampungan manusia yang belum dikenalnya sama sekali.

Jalan mana yang akan dipilih Mowgli? Hmm...

Tantangan ketika mengangkat cerita klasik ke dalam sebuah film dengan plot yang sama persis dengan buku adalah kejenuhan penonton karena telah mengetahui akhir cerita. Karena itu, banyak cerita-cerita klasik yang diadaptasi ke sebuah film dalam versi kontemporer, misalnya Snow White and The Hunstman (2012), Maleficent - Sleeping Beauty (2015), Beauty & Beast (2015), dll. Namun, sutradara Jon Favreau berhasil mensiasati dengan menampilkan visual atmosfer hutan yang menarik. Ketika adegan film bercerita tentang kemuraman, visualisasi hutan menjadi remang dan monokrom, sebaliknya berwarna-warni ketika berkisah tentang suka ria dan kesenangan. Efek animasi pun cukup menghibur. Semua binatang yang tampil di film adalah hasil dari computer effect, hanya Mogwli saja yang diperankan oleh manusia.

Alur cerita mengalir linear sehingga mudah dipahami. Wajar, mengingat ini adalah film keluarga. Banyak pesan yang disampaikan film The Jungle Book ini. Diantaranya adalah agar selalu hidup dalam kawanan (berkelompok, bersatu), menjadi diri sendiri, dan menumbuhkan potensi fitrah yang sudah dimiliki. Di penghujung cerita ketika si Mowgli hendak berhadapan dengan Shere Kan dengan cara seekor serigala yang selama ini diajarkan, Bagheera menasehati:

"...Mowgli, kamu adalah seorang manusia. Gunakan trik sebagai manusia, jangan gunakan cara serigala untuk berhadapan dengan Shere Kan..."    

Ada beberapa scene film yang mau tidak mau mengingatkan pada adegan-adegan The Lion King (1994) karya Disney juga. Misalnya berkumpulnya para binatang di kolam air Tiga Batu mengingatkan berkumpulnya binatang saat menyambut kelahiran Simba di The Lion King. Juga adegan sekawanan kerbau liar yang berlari dan menyelamatkan Mowgli mengingatkan pada kawanan yang sama, namun menyebabkan tewasnya ayah Simba.

Selain film, biasanya Disney mempopulerkan soundtrack lagu yang mengiringi film itu. Tidak seperti Frozen (2013) yang soundtrack-nya melegenda, sampai dibuatkan 'sekuel' khusus untuk lagu tersebut, The Jungle Book sepertinya tidak mengulang sukses lagu-lagu di Frozen. Mungkin lagu di akhir film masih bisa dinikmati, meskipun tidak memorable.  ,   

Beberapa adegan pun memancing tawa penonton, meskipun tidak khusus ditujukan sebagai film komedi. Bahkan di beberapa bagian menampilkan kekerasan, karena itu rating film mencantumkan PG, agar orang tua siap memberi penjelasan kepada anak. Secara keseluruhan film ini layak ditonton bersama keluarga.

Yang masih menjadi pertanyaan penulis dan membuat penasaran adalah kekaguman Rudyard Kipling (atau sang sutradara?) terhadap hewan bernama gajah. Di salah satu adegan, Mowgli dan Bagheera harus perlu bersujud memberi hormat ketika sekawanan gajah melintas. Atau hal itu mungkin karena Rudyard Kipling lahir di India dan pernah tinggal disana dan kagum melihat sosok hewan besar yang tak ditemukannya di Eropa?

Wallahu'alam

- elha score : 8/10 


Friday 8 April 2016

BROOKLYN (2015)

Film ini bergenre drama romatis, berkisah tentang seorang wanita muda Irlandia, Eilis Lasey (Saoirse Ronan), yang mencoba peruntungan dengan berimigrasi ke Amerika, meski  harus meninggalkan ibu dan saudaranya. Sang kakak mendukung keputusannya untuk memperoleh nasib yang lebih baik.

Di awal perantauan ia mengalami homesick parah yang membuatnya seolah menjadi pribadi yang tertutup dan canggung. Bergaul dengan teman-teman satu kost-nya pun belum mampu membuatnya lebih terbuka. Perkenalannya dengan seorang pemuda berdarah Italia, Tony Fiorello (Emory Cohen), ternyata mampu membuatnya menjadi Eilis yang sesungguhnya. Adegan di restoran saat dia lupa menikmati hidangan yang telah ia pesan saking asyiknya bercerita menunjukkan Eilis yang sesungguhnya telah lahir kembali. Adegan ini amat menarik ditonton.

"...terkadang kita menunggu orang yang tepat untuk memulai bercerita dan membuka diri..."

Adegan menarik lainnya adalah ketika Eilis diperkenalkan oleh Tony ke keluarga besarnya. Ia menyempatkan belajar cara makan spaghetti dengan benar, mempelajari kebiasaan keluarga Itali, termasuk hobby keluarga tersebut. Pun ada sedikit konflik ketika adik si Tony yang ceplas-ceplos gaya bicaranya menyatakan ketidaksukaannya pada orang Irlandia. (Mafia) Irlandia - Italia memang seperti kucing dan anjing berseterunya.

Di akhir kisah Eilis harus kembali ke Irlandia untuk menghadiri pemakaman sang kakak dan pernikahan temannya. Ia pun menghadapi dilema antara tetap tinggal di Irlandia meneruskan pekerjaan sang kakak dan menerima pinangan dari teman lama atau kembali ke Amerika menemui sang kekasih dan mengejar mimpi.

Manakah yang dia pilih?

Sangat suka menonton film ini ketika cara dan model berpakaian masyarakat masih sopan, etika pergaulan muda-mudi, dan kepada orangtua masih sopan dan santun. Pun ketika mengajak berkencan. O, ya setting film ini memang jadul, berkisar di awal tahun 1950-an.

Tak ada konflik ekstrem pada film ini, bahkan ketika Eilis harus memilih salah satu pria untuk jadi kekasihnya. Alur cerita mengalir biasa saja, namun memikat untuk dinikmati. John Crowley, sebagai sutradara, mampu menjaga irama ini. Di adegan akhir, kita akan tahu siapa yang dipilih Eilis 

elha score: 7.5/10



Wednesday 6 April 2016

THE 10 CLOVERFIELD LANE (2016)

Lima menit pertama film diawali hanya oleh suara latar, suasana sunyi, dan kegelisahan Michelle (Mary Elizabeth Winstead), seorang fashion designer. Suasana pun terasa menegangkan. Dari awal sang sutradara memang berusaha mengidentikkan genre film ini sebagai thriller psikologis.

Michelle mengendarai mobil di jalanan sepi menuju entah kemana. Pertengkaran dengan sang kekasih membuatnya galau dan tak bisa berkosentrasi. Akibatnya terjadi kecelakaan yang membuat mobilnya terguling dan ia pingsan.

Siuman, ia menyadari berada di sebuah ruang tertutup. Ternyata ruangan itu adalah sebuah bunker yang dimiliki oleh seorang mantan marinir, Howard Stambler (John Goodman), yang terobsesi dengan keamanan diri akibat bencana nuklir atau serangan alien. Awalnya, Michelle tidak percaya dengan cerita Howard jika bumi sedang diserang alien dan udara di atas terkontaminasi. Namun, satu kejadian membuatnya shock dan meyakinkannya. Bersama Howard dan Emmet, si pembangun bunker, ia mencoba menikmati kebertigaan dan mengisi waktu luang bersama, menunggu keadaan di atas luar sana kembali aman.

Namun, peristiwa demi peristiwa membuka mata dan pikirannya bahwa ia sedang menghadapi seseorang yang terobsesi dan tidak segan berbuat kasar untuk mewujudkannya. Ia pun berusaha mencari cara dan peluang untuk keluar.

Ide bunker atau ruang sempit tertutup beserta ketegangan yang menyertainya mirip dengan Panic Room (2002) yang dibintangi Jodie Foster, atau Room (2015) yang pemeran wanitanya, Brie Larson, mendapatkan piala Oscar.

Mestinya ending film berakhir pada usaha Michelle meloloskan diri. Namun, sutradara mengajak penonton melihat alternatif lain yang bisa dikembangkan, jika film hendak dibuat sequelnya, bahwa obsesi seorang Howard bisa saja menjadi nyata. Alien memang muncul untuk menyerang bumi, meskipun ide ini memang terasa agak janggal.

Yang menarik adalah ketika Michelle berhasil lolos (untuk yang kedua kali) dan bergegas pergi dari area 10 Cloverfield Lane. Dengan berkendara mobil dan ia mendengar berita tentang penyerangan itu dari radio. Penyiar radio menginstruksikan penduduk untuk mengungsi menuju Baton Rouge, dan menginstruksikan setiap warga yang memiliki pengalaman bertempur atau medis untuk segera menuju Houston. Saat itu Michelle berada di persimpangan jalan antara lurus menuju Baton Rouge atau belok kiri menuju Houston. 

Manakah jalan yang akan ia pilih? Apa yang bisa diharapkan dari seorang perancang busana?

Mary Winstead (pernah bermain di Final Destination 3) dan John Goodman bermain bagus di film ini, saling mendukung sebagai wanita yang ketakutan dan terdesak sehingga melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan,  dan seorang tua yang 'belas kasih' namun penuh obsesi. Secara keseluruhan film ini bernuansa suram dan mampu menjaga ketegangan sampai akhir film, meski tak ada dialog yang bisa dijadikan quote di film ini. Bagi penikmat film bergenre thriller, film ini tak pantas untuk dilewatkan...;)

elha score: 8/10