Friday 17 September 2021

SUNDAY STORY (2017)

 A mother is she who can take the place of all others, but whose place no one else can take

~ Cardinal Meymillod



Bunyi-bunyian di pagi hari terdengar saling bersahutan menggantikan bunyi kokok ayam jantan. Kalau pernah tinggal di kompleks perumahan kota, Anda akan akrab mendengar alunan suara: “…bacang, bacang…bacang ayam!atau jingle produk roti atau dentingan suara pak lontong sayur atau bubur ayam. Kokok ayam justru jarang terdengar. Entah karena tak ada yang punya atau sang ayam sudah jadi santapan kriuk di meja.

Namun, jauh sebelum mereka semua itu bersuara, sesosok mahluk sudah terbangun dan sibuk dengan dunianya. Bebersih rumah, beberes dapur, mencuci, menyetrika, menyiapkan bekal buat ananda dan kakanda adalah rutinitas harian. Sepekan 24 x 7. Sosok itu adalah emak. Ia adalah mahluk multitasking yang diciptakan Tuhan untuk bisa mengisi semua posisi dan peran, namun tak ada yang mampu menggantikan posisinya.

Film pendek Sunday Story dibuka memotret adegan kesibukan emak sebagai ritual harian. Alih-alih mematuhi perintah emak untuk segera mandi, anak lelakinya malah langsung pergi bermain. Lalu, membangunkan bapak yang masih pulas untuk segera bangkit dan mengantar anak perempuan ke sekolah. Si bapak tak beranjak. Kesal, si emak mengantarkan sendiri anak perempuannya ke sekolah.  Ada kesadaran padanya bahwa meskipun hidup tak bergelimang harta, pendidikan anak tetap menjadi prioritas utama. Suatu prinsip yang umumnya dianut para emak peduli pendidikan garis keras. Wajar saja, bukankah ada peribahasa: emak adalah madrasah pertama dan utama bagi putra-putrinya?

Adegan berikutnya adalah puncak dari alur cerita film berdurasi 10 menit ini. Tak lama pergi, si emak kembali dari sekolah dengan raut muka kesal. Urusan sekolah sepertinya malah menambah beban. Sekilas ia memandang bapak yang sedang duduk ngopi di beranda, dan langsung menuju dapur. Duduk dan diam. Bagi seorang wanita yang dianugerahi oleh Sang Pencipta 20000 kata per hari, diam adalah pertanda kejengkelan paripurna.


DAPUR, SUMUR, KASUR

Septi Peni Wulandani, founder komunitas Ibu Profesional, berusaha mengubah pola pikir lama tentang ibu (rumah tangga). Kalau dulu urusan “dapur, sumur, kasur” menjadi suatu keniscayaan karena bersuamikan seorang laki-laki, beliau mengubah maknanya menjadi lebih berdaya. Karena itu Mbak Septi menyelipkan kata “profesional” setelah kata ibu pada nama komunitasnya, yang berarti bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai ibu, baik yang bekerja di ranah domestik maupun yang berkativitas di ranah publik.

Falsafah Jawa yang melekat pada ‘nasib’ perempuan adalah konsep dapur, sumur, dan kasur. Saat ini konsep tersebut lebih diartikan secara peyoratif dan seolah menjadi beban bagi para ibu yang ingin berperan lebih luas. Komunitas Ibu Profesional mencoba memberi makna baru—atau lebih tepatnya menggali makna sesungguhnya—dari falsafah ini. Pemaknaan baru ini mampu memberikan martabat dan kebanggaan sebagai seorang ibu (rumah tangga).

Dapur, adalah segala urusan tentang masak-memasak dan asupan makanan. Di beberapa daerah di India, dapur adalah daerah kekuasaan ibu (skena Dangal, 2016). Dalam makna kekinian, urusan dapur meliputi persediaan bahan makanan, menemukan penyedia bahan makanan yang affordable, memastikan bahwa makanan tersebut halal dan bergizi, dan sebagainya. Pada makna yang baru, peran ibu sebagai ahli gizi dan pakar supply chain. Dalam bahasa fitrah Ustaz Harry Santosa, Ibu memiliki peran sebagai health nutrition maker.

Jaman dulu, sumur adalah tempat mandi dan mencuci. Mandi dan mencuci berkonotasi erat dengan kebersihan dan kesehatan. Kebersihan erat kaitannya dengan keindahan. Jadi, peran ibu di sini adalah  pakar kesehatan dan pakar stylist keluarga, memastikan seluruh anggota keluarga selalu menjaga kesucian, kesehatan, dan keindahan. Dalam bahasa fitrah, Ibu berperan sebagai harmony & aethestic keeper.

Sedangkan kasur bukan sekadar urusan melayani suami. Cakupannya lebih besar, yaitu memastikan generasi keturunannya adalah generasi unggul, dari segi wujud maupun pengetahuannya. Generasi insan kamil. Jika seorang ayah sebagai pembangun logika, maka ibu berperan sebagai penumbuh rasa. Jika ayah adalah pembangun karakter kinerja dan ketangguhan, ibu berbepran sebagai pembentuk karakter moral dan nurani welas asih (owner of conscience and morality).

Nah, keren kan?

Tentu saja, pernak-pernik urusan rumah tangga tak pernah berkurang. Kadang perlu 24 jam waktu ibu. Namun, jika 24 jam waktu yang telah disediakan oleh Tuhan masih terasa kurang, berarti ada yang mesti kita tengok kembali dalam hal pengelolaan waktu.


KANDANG WAKTU

Pada salah satu ilmu di jenjang Institut Ibu Profesional, para ibu belajar cara mengelola waktu agar mereka tidak merasa tertekan dan aktivitas yang mereka lakukan tetap bermakna, bukan terpaksa. Mereka menamakannya kandang waktu.

Ada kuadran aktivitas untuk Mengelola waktu. Terbagi menjadi kuadran pertama: tentang sesuatu yang penting dikerjakan dan bahagia mengerjakannya, kuadran kedua: tidak penting tapi suka mengerjakannya, kuadran ketiga: tidak penting dan tidak suka, dan kuadran keempat: tidak suka tapi harus dikerjakan. Mereka lebih dulu fokus pada kuadran pertama dan keempat.

Kandang waktu dibuat untuk membantu para ibu agar aktivitas yang penting dan mendesak tidak saling berdesakan untuk diselesaikan. Pada aktivitas yang harus dikerjakan dan senang mengerjakannya, mereka mengalokasi waktu yang lebih lama ketimbang aktivitas sebaliknya. Jadi, lebih menghabiskan energi positif dan  menghasilkan energi positif juga: kebahagiaan.

Patut dicoba ….

_______________


Akhir film menarik untuk ditelaah, yang menyiratkan sebuah aturan tak tertulis ketika terjadi konflik dalam keluarga: diam dan sabar.

Si bapak pun pergi ke dalam rumah, melihat emak yang duduk diam termenung dan kecele—wajah kesal masih ada di rautnya. Alih-alih mengolok, si bapak mengambil perkakas bekas makan, membawanya ke dapur, dan membersihkannya. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menghibur emak, istrinya. Ia adalah laki-laki sederhana, yang mungkin bernasib sama dengan kisah suami ini:

“Jadi, istri saya sakit apa, Dok?”

“Setelah diperiksa, istri Anda menderita stres akut karena terlalu banyak beban kerja. Agar sembuh, Bapak mesti mengajak istri refreshing, berlibur ke tempat-tempat wisata. Boleh wisata lokal, tapi kalau mau cespleng, ya diajak ke lokasi-lokasi indah di luar negeri,” saran dokter.

“Bagaimana, Pak? Jadinya kita pergi kemana?” tanya si istri begitu keluar dari praktik dokter.

“Kita pergi ke dokter yang lain saja, Bu!” jawabnya.


_____o_____