Thursday, 23 January 2020

1917 (2019)

Dalam kengerian film-film bertema perang, selalu terselip kisah tentang pengorbanan, persahabatan, tanggung jawab, bela negara, dsb. Pun demikian dengan film 1917 ini. Dengan latar belakang Perang Dunia I, film ini berkisah tentang dua parjurit yang ditugaskan untuk mengirim pesan tertulis ke batalyon Sekutu untuk menunda serangan ke pasukan Jerman.

Adalah Kopral Tom Blake (Dean Charles Chapman) dan William Schofield (George McKay) yang diperintah oleh Jendral Erinmore (Colin Firth) untuk mengirim surat perintah tertulis ke batalyon Devonshire. Untuk tujuan ini mereka berdua harus melewati wilayah pasukan Jerman. Pesan tertulis menjadi satu-satunya cara ketika kabel telepon diputus oleh tentara Jerman. Surat perintah itu sendiri adalah untuk menunda serangan batalyon Devons karena diketahui pasukan Jerman berstrategi pura-pura mundur, dan siap melakukan serangan balik.

Mengendap-endap kopral Blake dan Schofield melewati tanah-tanah yang gersang dengan beberapa mayat manusia dan hewan bergelimpangan. Sang sutradara mampu menyajikan gambaran perang yang menelan banyak korban dan menyeramkan. Di sebuah lahan pertanian, mereka menyaksikan 3 pesawat tempur sedang 'dog-fight', dan salah satunya jatuh dan terbakar di dekat mereka. Ternyata itu pesawat musuh. Tom Blake yang hendak menolong sang pilot yang terbakar justruk ditusuk dan tewas. Pilot itu sendiri pun tewas ditembak oleh Schofield. Sebelum meninggal Blake berpesan agar Schofield menuntaskan misi dan meminta agar menemukan kakaknya, Joseph Blake. 

Film ini pun lalu berkisah tentang perjuangan Schofield melewati wilayah Jerman, lolos dari tembakan sniper, menghindar dari berondongan peluru dan kejaran pasukan Jerman. Akhirnya Schofield sampai di markas batalyon Devonshire, namun sayang pasukan ini telah melancarkan serangan pertama.

Bagaimana kelanjutannya? Apakah Kopral Schofield bisa menyerahkan surat tersebut ke Komandan Batalyon Devonshire dan menyelamatkan 1600 jiwa?

Film ini beralur linear, mudah diikuti dan tidak membuat penonton berpikir. Gambaran tentang kedukaan perang sangat terwakili dengan bergelimpangan banyak korban dan bangunan-bangunan yang hancur. Suasana sepi dan warna kelabu menambah kesan muram ini. Tidak seperti film-film perang lainnya yang memunculkan ketegangan membekas pada penoton, seperti Fury (2014)Hacksaw Ridge (2016), Dunkirk (2017), atau sekelas Platoon (1986) dan Saving Private Ryan (1998), plot cerita film ini sangat kurang dramatik dan mengaduk-aduk emosi penonton.

Meskipun demikian, film ini menampilkan pesan yang kuat. Selain tentang kepahlawanan, pengorbanan, kesia-siaan perang, juga tentang menuntaskan misi. Tiap-tiap kita menyandang misi hidup masing-masing - bahkan di saat damai. Nah, apakah kita menyadari misi ini dan bertekad menuntaskan?

Silakan direnungkan...  

~ elha score: 7.0/10

Monday, 6 January 2020

CHHICHHORE (2019)

Film Chhichhore yang artinya slèngèkan dan tidak serius berkisah tentang reuni teman-teman kuliah yang bisa menyelamatkan nyawa. Ah, bagaimana ceritanya? Nitesh Tiwari, yang juga menyutradarai Chillar Party (2011) dan Dangal (2016), membuat alur kisahnya menarik untuk dinikmati.

Adalah Raghav Pathak (Mohammad Samav) yang merasa cemas tidak lolos masuk ke IIT (Indian Institute of Technology). Kampus favorit dimana ayah ibunya pernah bersekolah dan menjadi enginer sukses seperti saat ini. Raghav sudah belajar dan mempersiapkan diri selama berbulan-bulan untuk menempuh ujian masuk ini. Bahkan ia mengorbankan waktu bermain dan liburannya. Baginya waktu mesti dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar. Sang ibu, Maya (Shraddha Kapoor) mengingatkan sang ayah Anirudh Pathak (Sushant Singh Rajput) agar menasehati sang anak agar lebih santuy menghadapi ujiannya. Maya dan Ani sudah bercerai dan berpisah tempat tinggal. Raghav memilih tinggal bersama sang ayah.

Ketika pengumuman hasil ujian masuk tiba, Raghav tak percaya ia tak lolos masuk institut favorit tersebut. Kecewa dengan perngorbanan selama ini dan tertekan merasa takut dijuluki pecundang, ia memutuskan menerjunkan diri dari lantai 3 rumahnya. Sayangnya, ia tak langsung tewas, eh... Dilarikan ke rumah sakit, Raghav menderita luka otak cukup parah. Dokter memberitahu Maya dan Ani bahwa pemulihan akan sulit jika Raghav tak memiliki keinginan untuk hidup.  Mengetahui bahwa penyebab utama adalah ketakutan Raghav dijuluki the loser, Ani berkisah di sampingnya bahwa di masa kuliah pun ia pernah dijuluki pecundang. Raghav merespon selama Ani bercerita tentang. jaman kuliah. Hal itu memberi ide untuk memgundang tokoh-tokoh nyata di kisah itu agar Raghav percaya kisahnya bukan bualan motivasi saja.

Maka, reuni the losers pun terjadi di ruang rumah sakit. Masing-masing teman Ani dan Maya bercerita profil mereka selama kuliah dan kenapa mereka dijuluki pecundang. Mereka adalah Gurmeet Sigh Dhillon (Varun Sharma), kakak kelas yang pornholic; Acid (Naveen Polishetty), kakak kelas yang suka mengumpat dan berlidah tajam; Derek (Tahir Raj BHasin), kakak kelas 2 tingkat yang bersifat rebel; Sundar Shrivastav (Tushar Pandey), anak mami yang ayahnya pengin teman-teman seasrama meng-ospek-nya agar jadi lelaki tangguh; dan Bevda (Saharsh Kumar), kakak kelas yang pemabuk. Mereka tinggal satu asarama di blok H-4. Blok asrama ini dijuluki pecundang karena selalu di urutan buncit di kompetisi olahraga bergengsi yang diadakan di kampus tersebut. Blok yang selalu unggul adalah blok H-3.

Kisah film ini adalah kisah penghuni blok H-4 untuk bangkit dari julukan pecundang dengan mencoba menjuarai kompetisi dan mengalahkan sang juara bertahan, H-3. Ani dan Derek - yang pernah ditawari untuk tinggal di blok bergengsi H-3 namun menolak - mencoba memotivasi sesama rekan penghuni yang karena 'labelling' akhirnya merasa yakin mereka memang pecundang dan tak punya harapan untuk menang.  Nitesh Tiwari menekan sebuah pesan bahwa labelling buruk bisa sangat berbahaya. Ad akisa romance juga antara Ani dan Maya yang tinggal di asrama putri blok H-10. Moment ini untuk menggambarkan karakter ini yang pantang menyerah untuk mendapatkan idola kampus meskipun dari blok pecundang.

Alur cerita dibuat flashback bolak-balik untuk menekankan kisah kenangan tersebut kepada Raghav. Setiap akhir kisah yang diceritakan pelaku asli, Raghav selalu tersenyum menanggapi kekonyolan ayah ibu dan teman-teman mereka. Di akhir film, sang sutradara memberi sedikit ketegangan dalam 2 masa berbeda. Yang satu ketika dokter memutuskan untuk mengoperasi Raghav, namun Ani meminta tambahan waktu bercerita agar kisah silamnya juga selesai. Dan yang kedua di masa berbeda, penentuan juara kompetisi ditentukan di arena basket dimana Ani adalah jagoan di olahraga itu. Kesempatan 3 poin akan memenangkan mereka dan menjuarai kompetisi musim itu.

Nah, apakah lemparan 3 poin itu berhasil dan blok H-4 menjuarai kompetisi? Film ini pun berpesan untuk menghargai proses dan tetap berusaha mengejar impian. Seringkali keluar dari nasib pecundang ditentukan dari cara kita melihat diri sendiri. 

Yang menarik dan 'membumi' dengan kita adalah saat berkumpul dengan teman-teman lama dan mengenang masa silam serta menertawai kekonyolan kita sendiri. Dan, bisa jadi itulah obat atau penawar keruwetan kita dalam menjalani hidup. Ani dan Maya karena kenangan romantis masa kuliah menjadi berkaca diri bagaimana mereka bisa klik dan klop saat itu. 

Lalu bagaimana nasib Raghav? Silakan ditonton untuk untuk menyelesaikan alu kisahnya. Boleh dinikmati bareng keluarga, namun beberapa adegan perlu pendampingan dari sisi bahasa dan tingkah.

Sipp!


~elha score: 8/10     

Saturday, 28 December 2019

THE PRESTIGE (2006)

Film ini juga salah satu karya Christoper Nolan yang memiliki plot twist yang menegangkan, membuat penonton penasaran seperti pada The Shawshank Redemption (1994). Nolan memang piawai membuat film-film dengan tema seperti ini, mengeksplorasi konsep waktu (Inception, Transcendence, Interstellar), memori (Memento, Insomnia), dan identitas (Trilogi Batman, dll).

Kali ini 'bermain-main' dengan konsep waktu-ruang seperti di Interstellar dan identitas.

Adalah Angier (Hugh Jackman) dan Borden (Christian Bale), dua orang asisten magician yang awalnya berteman. Gegara salah membuat ikatan saat pertunjukkan, istri Angier, JuliaMc Cullough (Piper Purabo), tewas saat melakukan trik tangki air. Angier menyalahkan Borden yang bertanggung membuat ikatan tangan. Sejak saat itu mereka bermusuhan dan setelah masing-masing memiliki pertunjukkan sendiri saling menjegal saat melakukan pertunjukkan. Keduanya saling bersaing untuk menjadi yang terhebat. Bahkan sampai melakukan tindakan berbahaya. Suatu ketika Borden melakukan trik yang dinamakan Transported Man dimana Borden masuk ke pintu yang satu dan muncul di pintu lain di sisi sebelah hanya dalam waktu beberapa detik. Pertunjukkan ini sukses dan membuat Angier terobsesi menemukan metode Borden menghilang dan muncul lagi di tempat lain. Gagal menemukan metode Borden, Angier menyewa seorang aktor, Gerald Root, dan mendandani mirip seperti dia untuk tampil sebagai dia dan muncul di pintu sebelah. Pertunjukkan dengan tajuk New Transported Man pun sukses, namun Angier masih belum puas karena yang mendapat applause adalah Gerald Root. Kemudian Angier mengutus asistennya, Olivia Wenscombe (Scarlet Johansson) untuk mencuri buku harian Borden yang berisi catatan pertunjukkan dan triknya.

Dalam buku harian itu ada kata kunci TESLA merujuk pada seorang penemu Nikola Tesla. Angier meyakini Tesla membuat mesin yang memungkin Borden bisa muncul di tempat lain. Tesla pun membuatkan mesin untuk Angier dengan 1 pesan: segera dihancurkan. Namun Angier tidak mengindahkan dan justru memanfaatkannya untuk menjadi bagian dari pertunjukkan. New Transported Man sekarang benar-benar lebih mutakhir. Angier bisa muncul di tempat lain dan menikmati The Prestige, bagian akhir dari sebuah ilusi dan menikmati tepukan penonton. Salah satu penonton yang bertepuk tangan adalah Borden, yang sekarang ganti penasaran bagaimana Angier bisa muncul di belakang penonton. Maka, ketika menonton pertunjukkannya lagi Borden segera berlalri ke belakang panggung untuk melihat trik, tapi dia menemukan Angier terbenam di kotak air dan tewas. Berada di tempat kejadian, Borden dituduh melakukan pembunuhan terhadap Angier.    

Borden pun dipenjara dan segera diekseskusi di tiang gantungan. Menjelang eksekusi, muncullah Lord Cardlow yang ternyata adalah Angier/Great Danton. Angier puas karena bisa mengalahkan Borden. Namun, ketika hendak melakukan aksi terakhir dengan menggunakan mesin Tesla, muncullah sesosok orang yang menembak mati mati Angier/Lord Cardlow. Sosok itu adalah Fallon yang ternyata juga adalah Borden.

Nah, bagaimana sosok Angier dan Borden yang tewas bisa muncul kembali? Silakan dinikmati film ini sampai habis ya... Seperti sebuah sulap, kejutannya selalu ada di akhir: The Prestige.

Seperti film Nolan lainnya, The Prestige memiliki plot yang rumit membuat penonton penasaran menyaksikan film ini sampai selesai. Hugh Jackman dan Christian Bale bermain peran dengan bagus dengan masing-masing 2 karakter yang berbeda. Penonton akan melihat kekuatan peran masing-masing dan bisa membayangkan rivalitas kedua aktor tersebut.

Jadi, yang suka dengan film-film plot twist, film ini jangan dilewatkan.

Sipp!


~ elha score: 8.5/10




Friday, 27 December 2019

THE SHAWSHANK REDEMPTION (1994)

Jika googling tentang film sepanjang masa atau film dengan plot twist, The Shawshank Redemption selalu tercantum. Bahkan di deretan pertama. Jadi penasaran.... Eh, ternyata sudah pernah lihat, tapi waktu itu dari pertengahan. Bolehlah sekarang menonton sepenuhnya.

Menonton film ini mengingatkani pada novel Alexandre Dumas, Monte Cristo, terutama ide untuk lolos dari penjara. Dan memang, Monte Cristo dan Alexandre Dumas terucapkan oleh tokoh utama film ini dalam salah satu adegan dialognya. Film ini diadaptasi dari novelis famous, Stephen King: Rita Hayworth & Shawshank Redemption. Kok bisa nama seorang bintang film terkenal tahun 40-an jadi sebuah judul novel? Nah, ia memang jadi tokoh penting di novel dan adaptasi filmnya...meskipun hanya dalam bentuk poster.

Mau tahu?

Shawshank Redemption adalah sebuah penjara untuk orang-orang kriminal dengan penjagaan super ketat dan sipir-sipir penjara yang tak segan berbuah overaction hanya agar penjara ini 'tenteram'. Rata-rata penghuni penampungan ini divonis bersalah dengan kurungan puluhan tahun. Saking lamanya ada penghuni yang sudah renta dan merasa ketakutan jika sudah bebas dan berbaur dengan masyarakat normal.

Adalah Andy Drufesne (Tim Robbins), seorang direktur bank yang dituduh membunuh istri dan kekasihnya. Jejak-jejak keberadaan Andy di dekat lokasi kejadian menjadi bukti memberatkan. Bukti meringankan berupa pistol justru dibuang dan tidak ditemukan. Maka, Andy pun divonis hukuman 2x seumur hidup dan dikirim ke penjara Shawshank Redemption pada tahun 1947. Disana Andy berkenalan dengan seorang penyelundup segala macam barang ke penjara (yang ini jadi teringat novel King Rat-nya James Clavell), Ellis Boyd Redding (Morgan Freeman). Melalui Red, Andy memesan sebuah palu kecil dan poster Rita Hayworth. Palu kecil digunakan untuk megukir batu yang menjadi kesukaan Andy. Menurut Red palu kecil itu perlu waktu 600 tahun untuk membobol tembok penjara.

Dua tahun di penjara dengan segala kehidupan suka dukanya, Andy menarik perhatian Kapten Sipir penjara yang brutal, Byron Hadley (Clancy Brown) setelah memberi nasehat tentang keuangan dan investasi. Yap! Andy adalah mantan direktur bank, jadi dia mempunyai keahlian di bidang itu. Berita tersebut kemudian sampai kepada Kepala Penjara, Samuel Norton (Bob Gunton) yang kemudian memanfaatkannya untuk melakukan investasi-investasi keuangan secara ilegal. Dengan keahliannya Andy melakukan pencucian uang dengan nama fiktif. Menarik ucapan Andy kepada Red, sebuah ucapan yang ironis:


"...dulu di luar penjara aku adalah orang yang jujur, tapi justru jadi penjahat ketika dalam penjara..."

Andy dipercaya penuh oleh kepala penjara dan diperbolehkan memasang poster bintang film Rita Hayworth dan belakangan Raquel Welch di dinding penjaranya. Tahun 1965 masuk seorang pemuda charming, Tommy Williams (Gill Bellows) menjadi penghuni baru. Ia sudah bolak-balik masuk penjara di berbagai negara bagian dengan dakwaan yang tak lama karena kejahatan kecil. Pembawaannya yang menyenangkan membuat cepat akrab dengan penghuni lain. Saat ngobrol berkisah tentang situasi penjara di tempat lain, Tommy berkenalan dengan seorang narapidana yang mengaku membunuh istri Andy dan kekasihnya. Andy pun menghadap kepala penjara dan meminta peradilan ulang karena si pembunuh sebenarnya sudah ditemukan. Tapi, justru Andy dihukum dan dimasukkan ke sel gelap dan Tommy tewas.

Saat itu Andy pun bertekad untuk melarikan diri dari Shawshank. Pagi hari berikutnya ketika seluruh penghuni penjara di-absent, sel tempat Andy ditahan kosong melompong. Norton, sang kepala penjara, heran bagaimana bisa Andy lenyap begitu saja. Dengan geram ia melempar buah catur ukiran Andy ke salah poster bintang film yang terpasang di dinding. Lho, ternyata poster itu jadi berlubang. Ternyata...

Andy melarikan diri dari lubang yang dibuatnya. Di luar penjara ia mengubah identitas seperti sosok fiktif buatannya yang selama ini bertransaksi keuangan. Ia pun menjadi jutawan dan mengirim surat kepada Red agar menemuinya ketika ia bebas.

Persis seperti akhir dari Monte Cristo...

Tidah heran jika film ini menempati posisi sebagai film sepanjang masa karena alur cerita yang runtut dan mengagetkan di akhir kisah. Kehidupan penjara yang 'kejam', namun ada juga persahabatan pun digambarkan dengan baik oelh sang sutradara. Tim Robbins bermain bagus dan Morgan Freeman pun mampu mendampinginya. Secara kesuluruhan film layak ditonton bagi penggemar film-film plot twist dan penuh kejutan.

Silakan dinikmati...


~ elha score; 9.5/10

Thursday, 26 December 2019

KNIVES OUT (2019)

Ketika sekilas membaca sinopsis film ini, sudah terbayang alur cerita seperti di novel Agatha Christie. Dan memang benar, bahkan film inidimulai dari investigasi dengan mewawancarai para tersangka.

Adalah novelist kaya raya, Harlan Thrombey (Christopher Plummer), yang sedang berulang tahun ke-85 dan mengundang para kerabat untuk merayakan. Esok paginya pelayan yang mengantarkan sarapan, menemukan Harlan sudah tewas dengan leher tersayat. Diduga Harlan mengakhiri hidupnya sendiri, namun seorang tak dikenal meminta seorang detektif  swasta, Benoit Blanc (Daniel Craig) untuk menyelidiki. Sang anonim ini menduga Harlan Thrombey tewas dibunuh.

Maka, dimulai serangkaian wawancara investigasi khas Agatha. 

Hal yang menarik saat wawancara berlangsung adalah tiap orang menyembunyikan fakta yang ada, yang bisa membuat mereka dicurigasi sebagai penyebab tewasnya Harlan. Tiap kerabat menjadi rentan untuk dicurigai karena memiliki problem sendiri dengan Harlan menjelang kematiannya. Joni Thrombey (Toni Colette) - janda dari mendiang anak lelaki Harlan - yang dihentikan dukungan keuangannya oleh Harlan karena berlaku curang. Atau Walt Thrombey (Michael Shannon), anak bungsu Harlan yang menjalankan bisnis penerbitan buku-bukunya di bawah bayang-bayang sang ayah. Walt ingin berinovasi, namun ditolak oleh sang ayah. Dan itu menyebabkan peselisihan. Atau cucu Harlan, Hugh Ransom Drysdale (Chris Evans), yang diketahui oleh semua orang yang hadir di pesta ulang tahun sedang bertengkar hebat dengan sang kakek, dan mengeluarkan kata-kata ancaman.

Karena para tersangka tidak mengungkapkan fakta sebenarnya saat wawancara, sang sutradara - Rian Johnson - memberikan informasi kepada penonton lewat adegan-adegan kilas.

Ada juga perawat pribadi Harlan Thrombey, Marta Cabrera (Anna de Armas), yang awal mula tidak dicurigai karena tidak berada di tempat kejadian dan bukan kerabat. Namun ketika sang pengacara novelis membacakan hak waris di depan para kerabat - yang membayangkan akan memperoleh harta waris berlimpah - tiba-tiba berpotensi menjadi tersangka utama. Ternyata Harlan sudah merubah surat wasiatnya dan memberikan semua asset dan hartanya kepada sang pelayan. Tentu saja, hal ini membuat para kerabat berang dan marah.

Alur cerita menjadi semakin rumit dan membuat penonton tegang ketika akhirnya diperoleh fakta bawah Maria Cabrera ada di lokasi ketika Harlan tewas.  Bahkan jejak-jejak keberadaannya sangat jelas. Satu-satunya saksi kunci adalah ibu Harlan yang sudah tua dan pikun, Nana Thrombey (K Callan). Hmm...itu menjadi tugas yang pelik buat sang detektif Blanc.

Kira-kira siapa pelakunya?

Film ini dari awal sudah menarik perhatian dengan memberi kejutan dengan adegan penemuan mayat sang novelis dan sosok siluet detektif saat wawancara investigasi oleh inspektur polisi. Sang sutradara menyusun plot twist yang membuat penonton terkaget-kaget namun juga akhirnya terucap: "...o, iya ya!". Adegan closing pun membekas. Ketika Marta bertanya kepada sang detektif: "Bagaimana dirimu bisa mengetahui kejadiannya?". Sang detektif hanya menjawab dengan menyentuhkan ujung kakinya ke sepatu Marta yang bernoda darah.

Usai menonton film ini, perasaan merasa terpuaskan. Wajar saja ternyata karena film ini memperoleh review 96% dari Rotten Tomattoes dan 8.1/10 dari IMDb.

Yang suka genre misteri, bolehlah dijadualkan menonton...   


~ elha score: 9/10 




Wednesday, 25 December 2019

AGATHA CHRISTIE & THE TRUTH OF MURDER (2018)

Agatha Christie, penulis terkenal yang dijuluki Queen of Crime, pernah menghilangkan diri pada tahun 1926 yang membuat heboh masyarakat Inggris. Pencariannya melibatkan 1000 polisi, 15000 sukarelawan, bahkan Sir Arthur Conan Doyle - pencipta karakter Sherlock Holmes - sampai menyewa cenayang untuk mengetahui keberadaannya.

Di tahun tersebut Agatha Christie sedang mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan pernikahan dan penulisannya. Pernikahannya dengan Archibald Christie di ambang perceraian, pun mengalami kebuntuan dalam membuat plot kisah detektif yang tidak mudah ditebak.

Nah, kisah di film ini merujuk pada salah satu versi mengilangnya penulis terkenal ini.

Saat dalam masa sulit tersebut, Agatha Christie (Ruth Bradley) didatangi seorang perawat Mabel Rogers (Pippa Haywood) yang memintanya untuk menyelidik kematian sahabatnya. Awalnya sang penulis menolak karena merasa tidak berkompeten mengusut kematian di dunia nyata. Namun kemudian menerimanya dan  menyamar sebagai agen biro waris mendiang Florence  Nightingale Shore (Stacha Hicks), sang korban pembunuhan. Nah, film ini mengambil versi menghilangnya si penulis terkenal karena melakukan penyamaran untuk menyelidiki kasus pembunuhan, betul-betul kasus pembunuhan nyata, bukan kisah.

Menonton film ini sama persis dengan membaca novel Agatha Christie, terutama di bagian akhir ketika sang detektif rekaannya, Hercule Poirot, mengumpulkan para tersangka untuk diwawancarai sebelum mengambil deduksi dan kesimpulan. Agatha Christie dan Mabel pun mengundang para kerabat dan teman yang diduga mendapat keuntungan dengan meninggalnya Florence. Skenarionya adalah mengumpulkan mereka untuk mengkonfirmasi jati diri mereka dan hubungannya dengan Florence sebelum menerima warisan. Sayangnya, skenario tidak berjalan lancar, dan tidak seperti Hercule Poirot yang hati-hati dan detail, Agatha Christie gegabah dan menimbulkan korban baru.

Korban baru ini mengundang datangnya Inspektur Polisi Dicks (Ralph Ineson) yang segera mengetahui jati dirinya sebagai penulis terkenal. Di depan sang Inspektur penyamarannya sebagai agen biro pun terbongkar, sekaligus sang Inspektur menemukan sosok yang menghilang dan dicari di seluruh negeri. Agatha Christie pun kemudian meminta bantuan sang inspektur untuk bersama menemukan sang pembunuh Florence. Persis dengan salah satu plot di novelnya, Agatha mendatangi terduga dan memprovokasi untuk mengakui pembunuhan Florence. Ketika terdesak sang tersangka pun mengakui dan mencoba menghabisi Agatha. Saat itulah masuk sang Inspektur untuk meringkus.

Jika sudah pernah membaca novel-novel Agatha Christie, maka film ini mudah ditebak alurnya dan tidak ada yang terlalu istimewa. Sutradara kurang mengeksplorasi ketegangan. Namun, film ini menarik karena menampilkansalah satu versi motivasi Agatha Christie untuk menghilangkan diri.

Untuk penggemar sang Queen of Crime, bolehlah ditonton...


~ elha score: 6.5/10

Tuesday, 24 December 2019

12 ANGRY MEN (1957)

Sudah lama dapat rekomendasi kalau film ini layak ditonton, namun baru sempat menikmatinya sekarang. Dan...memang layak dan mesti ditonton meskipun masih black & white dan bersetting 1 ruangan saja selama film berlangsung. Yap! Hanya dalam 1 ruangan.

Film ini sangat menarik karena berkisah tentang karakter manusia.

Film dibuka dengan setting ruang pengadilan dan adegan hakim meminta kepada 12 juri untuk mendiskusikan fakta-fakta selama pengadilan dan mencapai mufakat untuk memberikan sebuah keputusan menyangkut pidana pembunuhan. Lalu kamera menyorot wajah polos seorang anak yang dituduh membunuh ayahnya. Kemudian keduabelas juri pun memasuki ruang karantina untuk merumuskan keputusan yang akan diambil. Dalam sistem peradilan Amerika, memang menggunakan sistem peradilan dengan mengakui eksisten juri. Juri berasal dari warganegara yang dipilih secara acak.

Ruang karantina tersebut menjadi latar selama film ini berlangsung. Sebuah ruangan kecil yang pengap dan panas. Kedua belas juri mengawali diskusi yang sdipimpin oleh seorang moderator dengan menanyakan pendapat orang per orang tentang keputusan terhadap tertuduh: guilty or not guilty. Sepertinya keputusan diambil secara mudah karena secara bulat juri memutuskan si anak bersalah, eh...tunggu dulu! Ada 1 orang yang mengangkat tangan dan menyatakan tidak bersalah.

Adalah juri ke-8 (Henry Fonda), satu-satunya juri yang menyatakan si anak tidak bersalah. Sebenarnya ia pun tidak yakin apakah si anak itu tidak bersalah, dan meminta ke 11 juri lainnya untuk mendiskusikan beberapa fakta dan saksi sebelum terlalu cepat mengambil keputusan. Menurutnya ada 2 saksi yang perlu dipertanyakan kesaksiannya: seorang wanita dan seorang kakek tua. Maka, saling adu argumentasi terhadap fakta dan kesaksian mewarnai seluruh film ini. Sangat menarik karena sang sutradara (Sidney Lumet) - yang juga menyutradarai Murder on the Orient Express (1974) - sangat piawai mengeksplorasi karakter masing-masing juri. Ada yang detail mengamati setiap fakta, ada yang grasa-grusu, peragu, ada yang terkesan lemah namun bak singa ketika harga dirinya terlecehkan, ada yang egois, dsb.

Film yang hanya bersetting dalam satu ruangan dan berpotensi membosankan, ternyata menjadi sangat menarik dengan permainan karakter setiap tokoh. Henry Fonda sangat bagus berperan sebagai protagonis dengan melempar issue-issue terhadap fakta dan kesaksian para saksi. Kita seperti disuguhkan cara pandang yang berbeda dalam mengamati sebuah peristiwa.

Satu persatu para juri pun tersadar akan fakta yang tersuguhkan dari sudut pandang yang lain, dan mengubah pendapatnya menjadi 'tidak bersalah' pada tertuduh...sampai hasil voting imbang antara 'guilty dan not guilty'. Nah, silakan ditonton sampai akhir ya...sangat direkomendasikan untuk penikmat film yang menginginkan di luar genre action....:)

Sipp!


~ elha score: 9.5