Wednesday, 28 June 2017

SWEET 20 (REMAKE FROM MISS GRANNY, 2016)

Film yang bertabur bintang dan cameo dari generasi lama sampai baru  ini adalah genre sitkom. Adalah Fatma (Niniek L. Karim), seorang nenek 2 cucu yang tinggal bersama anaknya, Adit (Lukman Sardi) dan menantunya, Salma (Cut Mini). Fatma berkarakter dominan dan keras. Ia sangat membanggakan Adit anaknya dan menyanyangi kedua cucunya, Juna (Kevin Julio) dan Luna (Alexa Key). Sampai-sampai ia terlalu ikut campur dengan urusan pendidikan Juna dan Luna yang membuat Salma tersinggung. Ia pun cerewet untuk urusan dapur. Apapun yang dilakukan Salma selalu salah di matanya.

Konflik terjadi ketika Salma sakit dan dirawat di rumah sakit. Mungkin stress. Permintaan Salma agar ibu mertuanya tidak tinggal serumah lagi dengan mereka membuat Adit mengalami dilema. Kedua anaknya pun berseteru, Juna membela sang nenek, Luna tidak mau kehilangan ibu. Fatma yang mendengar persteruan itupun akhirnya mengambil keputusan untuk pergi dari rumah. Dalam perjalanan dan kesedihannya ia melihat sebuah studio photo "Forever Young". Ia pun masuk ke studio itu dan meminta difoto sebelum ia tampak makin tua keriput.

Ajaibnya setelah berfoto di tempat itu, ia menjadi lebih muda 50 tahun menadi gadis cantik. Menyadari ia kembali muda, Fatma - yang sekarang berganti nama menjadi Mieke (Tatjana Saphira) - memulai kehidupan yang baru dan berupaya mewujudkan keinginannya dulu yang belum tercapai, menjadi seorang penyanyi terkenal. Ia kemudian bergabung dengan group band Juna, cucunya, yang ingin berkarir di bidang musik namun mendapat tentangan dari kedua orangtuanya. Mieke terus mensupport cucunya, eh Juna, untuk tetap bersemangat dan menekuni jalur musik. Ia juga yang merubah genre musik band Juna dari metal menjadi pop rock dengan mengaransemen lagu-lagu lama. 

Meski sudah kembali muda, suasana hati dan pergaulan Mieke masih seperti nenek-nenek. Jadul, he...he... Gaya berpakaian dan berbahasanya - yang suka menasehati - membuat film terasa segar dengan situasi yang berbalut komedi tersebut.

Akhir group band Juna bisa tampil di televisi yang diproduseri oleh Alan (Morgan Oey). Lama-kelamaan Juna, Alan, dan Hamzah (Slamet Rahardjo) - yang sudah memendam cinta kepada Fatma - menaruh hati kepada Mieke. Nah, bagaimana kelanjutannya? Dimanakah cinta Mieke berlabuh? 

Silakan ditonton ya... Kocak habis deh!

Remake dari film Korea, Miss Granny (2016) dan diadaptasi dengan alur yang memikat, film ini memberi beberapa pesan yang disampaikan tanpa menggurui. Tentang pengabdian seorang ibu, tentang passion anak, tentang kesepian seorang manula, dll. Pada sebuah adegan diceritakan seorang Rahayu (Widyawati Sophiaan) gemar becerita tentang anaknya yang tinggal di Amerika. Namun, ketika meninggal, yang ada di nomer kontaknya hanya 2 nama: Fatma dan Hamzah, dua orang teman dan seterunya.

Niniek L. Karim bermain peran bagus sebagai nenek yang cerewet sekaligus perhatian, begitu pula Tatjana Saphira yang memainkan peran Fatma muda yang energik, lincah, dan penuh semangat, sekaligus karakter nenek-nenek yang muncul disana-sini. Lukman Sardi pun mampu mengimbangi sebagai seorang ayah yang mengalami dilema dan sebagai anak yang mencintai ibunya. Di adegan penghujung film, dialog keduanya sangat mengharukan.

Beberapa cameo bintang lama, seperti Hengky Sulaeman, Rudi Wowor, Rima Melati, Rina Hasyim, maupun bintang-bintang kekinian - Tika Panggabean, Joe P Project, Vicky Nitinegoro, Aliando turut membantu memberi warna pada kisah dan film.

Sipp!   


~ lukman score: 7.5/10

Tuesday, 23 May 2017

ONE LAST HEIST (2017)

...atau dalam versi lain berjudul The Hatton Garden Job, merujuk pada peristiwa nyata pencurian safe deposit box terbesar di Inggris pada tahun 2015 yang bernilai GBP 200 juta, atau sekitar 3.4 trilliun rupiah. Yang menarik dan bikin penasaran, pencurian terbesar itu dilakukan oleh sekelompok orang lanjut usia.

Film diawali dengan narasi tentang permata oleh Mr. X (benar-benar X karena tidak diketahui identitasnya), seorang pencuri, yang menjadi salah satu anggota kelompok pencuri. Yang paling muda, juga yang dari lingkungan luar. Si Mr. X ini ketika di dalam penjara berkenalan dengan anggota mafia Hongaria, dan karena keahliannya menerima job untuk mengambil permata dari The Hatton Garden, sebuah perusahaan yang menyewakan safe deposit box.

Sekeluar dari penjara, ia menjalankan misinya dan mulai merekrut orang-orang dengan spesialisasi kriminal mencuri. Atau mantan pencuri. Dari word to mouth lingkungan underworld, ia memperoleh nama-nama orang dengan style lama...dan sudah tua. Meskipun di masanya, mereka adalah para 'ahli'.

Kelompok pun terbentuk, dan mereka merencanakan strategi di sebuah gudang tua. Pencurian dilakukan saat liburan Jumat Agung dan Paskah, yang berarti ada libur selama 3 hari. Lalu, beberapa dua anggota akan menaiki gedung di sebelah The Hatton Garden dan turun melalui tali lift menuju ruang bawah tanah. Disana, mereka akan membukakan pintu untuk teman lainnya yang membawa peralatan, termasuk sebuah bor dengan diameter besar. Alat ini mesti dibawa untuk menjebol dinding dengan ketebalan 50 cm membentuk 3 lubang besar.

Sempat terjadi ketegangan ketika alat bor tidak berfungsi dan sang pemimpin kolaps karena kelelahan (maklum sudah tua, he..he..) dan dibawa pulang. Esoknya, anggota team yang lain menuntaskan pekerjaan yang belum selesai. Salut juga buat kriminal tua yang tidak puas sebelum menyelesaikan apa yang sudah mulai dikerjakan...:). Akhirnya mereka berhasil melakukan pencurian terbesar. Sayangnya, karena keteledoran salah satu anggota yang kembali ke TKP beberapa hari kemudian dengan identitas yang mudah dikenali dan membuat curiga Scotland Yard, membuat kelompok ini terbongkar. Namun, seperti motivasi salah satu anggota: "...yang penting aku ingin dikenang"

Ya, mereka akan dikenang. Sedangkan si Mr. X sampai sekarang belum diketahui identitasnya. Konon, ia segera pergi ke luar negeri setelah menuntaskan janjinya kepada Mafia Hongaria dan memberikan perlindungan bagi teman-teman tuanya - kalau tidak dikacaukan oleh salah satu anggota kelompok.

Bagi penikmat film intrik, filmnya masih tayang, silakan ditonton
    

~ elha score: 6.5/10

Monday, 22 May 2017

ZIARAH (2017)

"...aku itu nggak ngerti. Ada yang begini, ada yang ngomong begitu. Aku nggak ngerti mana yan bener, aku cuma ingin menemukan pesarean suami.."

Entah kenapa film ini hanya diputar di 2 tempat. Itu pun hanya di Jakarta: di Blok M Square dan TIM, padahal film ini menjadi viral di medsos karena tokoh utamanya, si nenek tua, menjadi salah satu nominasi aktris terbaik ASEAN. Mungkin, pelaku industri bioskop berpikir film-film festival kurang layak jual kali ya? Sayang sekali...

Akhirnya kami bela-belain nonton di Blok M Square setelah sesi Pol.Ja di Kemang.

Film diawali dengan prosesi pemakaman yang dengan jeli mengambil scene seolah-olah dari mata jenasah. Seluruh film ini memang berkisah tentang makam dan pemakaman. Tapi, bukan genre horror loh! Scene pun beralih ke seorang nenek tua,Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang tertegun dan mempunyai keinginan untuk menemukan makam sang suami. Dari tuturan kisahnya, sang suami adalah salah seorang pejuang saat Belanda melakukan agresi ke-2. Sebelum pergi dia berpesan ke istrinya bahwa kalau tidak kembali berarti dia sudah tewas dalam berjuang merebut kemerdekaan. Namun, keinginan Mbah Sri agar saat dia meninggal nanti dikubur disamping makam suaminya, mampu memberi kekuatan di usia senja untuk melakukan perjalanan menemukan makam sang suami. Satu persatu Mbah Sri berusaha menemukan sumber-sumber informasi dimana dia bisa menemukan makam sang suami.

Film ini berakhir happy ending, namun dengan kejutan di penghujung cerita. Penonton bisa mentafsirkan apa yang terjadi dengan suami mbah Sri dan apa yang dirasakan Mbah Sri. Seperti apakah? Hmm...lebih baik ditonton sendiri ya. Film Ziarah berkisah tentang kesetiaan, keteguhan, dan kepasrahan. Banyak adegan dan dialog berbobot sepanjang film yang membuat perenungan kita dalam memandang kehidupan, seperti yang diucapkan oleh cucu Mbah Sri, Prapto (Rukman Rosadi):

"...kalau kita selalu mendengar perkataan dan suara orang-orang, nanti kita malah tidak mampu mendengar suara (nurani) kita sendiri..."

B.W. Purwanegara, sebagai sutradara, mampu menggiring penonton untuk mengikuti perjalanan Mbak Sri mencari makam sang suami. Ada rasa iba ketika jalan terasa buntu, juga merasa ikutan kelelahan, sekaligus penasaran sambil menebak clue-clue yang diberikan sumber informasi kira-kira dimana dimakamkan. Patut diapresiasi juga usaha sang sutradara untuk membimbing pemain-pemain tua yang bukan aktris agar mampu berperan. Terbayang sih kira-kira susah nggak pemain-pemain tersebut menghafalkan dialog. Untungnya dialog sepanjang film menggunakan bahasa Jawa, yang sangat tidak asing bagi para pemain, sehingga membuat mereka lebih santai meskipun di beberapa adegan terlihat kaku.

Ide dan alur cerita orisinil, meskipun cerita mengalir begitu saja tanpa banyak konflik. Pengambilan gambar pun terkesan biasa saja, tidak menampilkan sisi keindahan alam pedesaan yang sebenarnya bisa lebih dieksplore. Mungkin, sutradara lebih mengfokuskan pada keteguhan sang tokoh utama untuk mencapai obsesinya. Namun, secara keseluruhan film ini layak ditonton bersama keluarga.


~ elha score: 7.5/10

Wednesday, 17 May 2017

THE AUTOPSY OF JANE DOE (2017)

Sudah berasa cemas saja saat mau menonton film ini secara berhubungan dengan mayat. Apalagi ini perdana tayang dan biasanya penonton belum banyak. Apalagi genre-nya thriller-horror. Untungnya satu-persatu penonton mulai berdatangan, jadi batal deh nonton sendirian seperti saat nonton film Get Out (2017).

Jane Doe merujuk pada suatu nama yang identitas aslinya belum diketahui. Jane Doe untuk perempuan, John Doe untuk laki-laki, Johnny Doe atau Janie Doe untuk anak-anak. Dalam bahasa Indonesia hanya satu rujukan, yaitu Si Fulan ...:)

Film diawali dengan sebuah kasus pembunuhan sekeluarga yang aneh. Polisi tidak dapat menemukan motif pembunuhan tersebut. Dan makin aneh ketika menemukan mayat wanita yang tidak dikenali dan terpendam di lantai bawah, Jane Doe (Olwen Chaterine Kelly). Oleh polisi, mayat wanita itu pun dibawa ke ahli coroner, Tommy Tilden (Brian Cox) dan anaknya, Austin Tilden (Emile Hirsch). Ketika mulai mengautopsi jenasah Jane Doe, ayah dan anak menemukan hal-hal aneh pada mayat tersebut. Organ-organ dalam mayat tersebut sudah rusak, tepatnya dirusak, meski penampakan luarnya tidak ada bekas luka. Pinggang mayat pun terlalu kecil karena terbiasa menggunakan korset, yang biasa digunakan pada wanita di abad ke-18. Setiap pembedahan pada organ menemukan keanehan-keanehan. Kedua ahli koroner itu bahkan tidak bisa menemukan penyebab kematian Jane Doe. Austin menyimpulkan mayat tersebut bukan mayat biasa, karena berhubungan dengan peristiwa pembantaian wanita-wanita dan anak-anak yang diduga penyihir jaman itu.

Dari awal film ini begitu seram, didukung dengan gambar yang suram dan musik yang mencekam. Apalagi begitu mendengar lagu di radio yang bernada kelam. Penonton disuguhkan prosedur autopsi dan melihat bagian-bagian dalam organ manusia.Brian Cox dan Emile Hirsch mampu berperan sebagai orang yang tertekan dan mengalamai teror, sedangkan Olwen Kelly sebagai Jane Doe tidak banyak bicara, tepatnya tidak bicara - iyalah, berperan sebagai jenazah - mampu berekpresi sebagai mayat yang cantik.

Bagi penggemar genre thriller-physological, bolehlah film ini ditonton. Jangan sendirian ya...:) 


~ elha score: 6.5/10

Thursday, 20 April 2017

KARTINI (2017)

"Trinil, apa yang kamu pelajari dari boso Londo?"
"Kebebasan, Ibu"
"Apa yang tidak ada disana?"

.....

Sepenggal dialog antara Kartini (Dian Sastrowardoyo) dan sang Ibu, Ngasirah (Christine Hakim), menjawab beberapa pertanyaan secara terang - setidaknya pertanyaan saya - tentang cita-cita emansipasi dengan sikap beliau yang sepertinya bertolak belakang.  

Prolog film diawali dengan adegan Kartini beringsut, berjalan hormat ala budaya Jawa, untuk menghadap Romo ayahandanya untuk membicarakan masa depannya. Kemudian adegan flashback Kartini kecil yang menangis keras karena tidak mau tidur berpisah dengan Yuk Ngasirah. Saat itu Kartini kecil sudah baligh dan harus menjalani pingitan. Sesuai budaya Jawa masa itu, seorang anak perempuan bangsawan yang sudah mengalami menstruasi pertama harus menjalani pingitan, tidak boleh keluar rumah, terpaksa keluar dari sekolah, dan berpisah dari teman-teman, sampai ia dipinang oleh calon suami. Hal ini bertolak belakang dengan karakter Kartini, yang di film ini digambarkan sedikit rebel oleh sang sutradara. Terlihat saat adegan ia memplonco kedua saudaranya yang baru saja menjalani pingitan di kamar. Juga adegan memanjat pohon dan duduk di tembok sambil mengobrol lepas. Gambaran ini memberi kita perspektif baru tentang RA Kartini.

Untung saja, saat masih bersekolah di ELS (Europese Lagere School) Kartini termasuk anak yang cerdas, sehingga ketidakberadaannya membuat guru-guru merasa kehilangan dan karena itu mengunjungi rumahnya. Jadi, Kartini masih memperoleh berita-berita dari luar tembok rumah, terutama cerita tentang berdayanya wanita, kehidupan sosial di negeri lain, dsb. Apalagi ketika sang kakak yang suka merantau, RM Sosrokartono (Reza Rahardian), memberi sebuah kunci yang membuka cakrawala wawasannya tentang dunia. Buku dan surat-surat dari sang kakak inilah yang memotivasi Kartini untuk mendobrak keterbatasan dan memberdayakan perempuan. 

Dari surat menyurat sang kakak dan teman-teman Belanda di Japara, Kartini pun memulai korespondensi dan berhubungan dengan teman-teman di luar negeri. Sang sutradara cukup unik dengan menggambarkan adegan dan dialog Kartini dengan teman korespondensinya secara nyata dengan latar belakang dunia Eropa. Jadinya, terkesan lebih hidup dan natural!

Film pun bergulir dari pujian masyarakat Belanda di Jawa terhadap Kartini dan menempatkannya sebagai perempuan berpikiran maju, lalu tantangan dari sang kakak pertama, RM Slamet Sosroningrat (Deni Sumargo), dukungan dari sang ayah, Bupati Rembang. Sang ayah, RM Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), termasuk salah seorang bangsawan yang mendobrak aturan ketika membolehkan sang anak perempuan bersekolah tinggi. Lalu adegan kiprah Kartini yang menghidupkan dan mendukung seni ukir Japara agar mendunia, hasrat keingitahuan Kartini terhadap ayat-ayat suci al Quran, sampai akhirnya adegan kembali ke awal film, yaitu ketika Kartini harus menjawab lamaran dari Bupati Rembang yang berkenan memperistrinya.

Dan film pun berlanjut seperti sejarah yang telah kita ketahui...

Hanung Bramantyo, sebagai sutradara, cukup piawai memainkan plot film dan memasukkan beberapa filosofi Jawa tentang kehidupan. Misalnya, tentang aksara Jawa ketika Kartini dan ibunya berdialog. Visualisasi tentang korespondesi surat dan cerita di buku yang sangat menarik dengan penggambaran langsung dan nyata. Tembang Jawa yang mengalun sendu dan visual kehidupan di dalam kadipaten yang sepi makin menggambarkan kehidupan pingit dan gejolak hati Kartini yang menggelegak ingin bebas, namun terikat tradisi. Sebagai balance sang sutradara pun menyematkan semangat dalam dialog Kartini dan kakaknya: raga boleh terkurung dalam kamar, tapi pikiran tetap harus berkelana (sang kakak ini memang seorang pengelana di Eropa dengan kemampuan 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah, silakan baca link berikut: https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-sosrokartono-orang-indonesia-paling-jenius.html).

Sutradara Hanung Barmantyo sangat kuat menggambarkan dilema antara kebebasan, jati diri perempuan, dan fitrah perempuan. Digambarkan pada adegan RA Roekmini (Acha Septriasa) yang menolak perkawinan karena menganggap sebagai dominasi pria terhadap wanita. Masa itu wanita tidak banyak memiliki pilihan. Pun, Hanung memberi pesan implisit agar perempuan memiliki wawasan luas dan berdaya guna, namun tak melupakan jadi diri keperempuanan dan adat istiadat dimana ia berada. Ini tergambar pada adegan saat Kartini menerima lamaran Bupati Rembang dengan syarat. Salah satunya adalah sang suami harus mendukung kegiatan istri untuk memberi pendidikan pada kaum wanita dan kaum miskin. Juga pada syarat, ia tidak akan melakukan tradisi mencuci kaki suami saat upacara pernikahan. Itulah 'pemberontakannya'.

Namun, juga ada batas. Kartini akhirnya harus menentukan sikap yang selaras antara cita-citanya dan fitrah perempuan. Dan itu ia temukan dari pertanyaan dan jawaban seorang ibu, seperti pada dialog diawal tulisan ini, yaitu:  B   A   K   T   I

Film ini sangat menarik ditonton bersama keluarga, sambil memberikan pemahaman kepada anak-anak apa itu persamaan hak untuk kaum perempuan dan emansipasi semacam apa yang dicita-citakan Kartini. Sebagai tambahan info, nukilan korespodensi Kartini ini bisa dijadikan referensi:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

~ elha score: 7.5/10

Friday, 14 April 2017

MISS SLOANE (2017)

Sepulang dari Depok, sempat kesasar, akhirnya terdampar di Pejanten Mall. Melihat-lihat jadual bioskop, dan memutuskan menonton film ini yang dari sinopsisnya menarik untuk ditonton. 

Film diawali dengan simulasi pertanyaan antara Elizabeth Sloane (Jessica Chastain) dengan pengacaranya untuk menghadapi hearing dengan anggota Senat tentang pelanggaran kode etik. Alur cerita kemudian berbalik ke belakang menceritakan asal muasal Miss Sloane terlibat. 

Elizabeth Sloane adalah seorang pelobbi politik yang menghubungkan para anggota Senat dengan konstituennya. Tugasnya antara lain membuat opini publik sehingga kebijakan politik yang diusulkan senator kliennya bisa diterima masyarakat. Perseteruan terjadi ketika firma hukum Cole Kravitz & Waterman tempatnya bekerja mendukung Senator Bob Sanford (Chuck Shamata) yang menentang petisi Heaton-Harris yang mengatur penelitian latar belakang orang yang berniat membeli senjata. Miss Sloane yang menolak bekerja sama akhirnya pindah ke biro lain yang mendukung usulan Heaton-Harris.

Adu strategi untuk memperebutkan suara para senator pun terjadi antara kedua biro tersebut. Juga aktifitas pengintaian, penyadapan, dan provokasi terhadap para anggota team biro. 

Bagaimana akhir pertarungan para broker politik ini? Dan bagaimana sampai akhirnya Miss Sloane diadili dan dituduh melanggar kode etik? Apakah ada kartu truf terakhir yang membuatnya bebas? Bolehlah ditonton, dandijamin ada kejutan di akhirnya...:)

Alur film ini amat memikat, tidak terduga di akhir film. Penonton disuguhkan sebuah adu strategi yang baru ngeh di akhir film. Jessica Chastain mampu memainkan peran sebagai seorang lobbyist yang super sibuk. Juga smart dan determinan. Dalam salah satu adegan, Miss Solane membaca novel John Grisham berjudul The Broker, yang berkaitan erat dengan profesinya. Banyak dialog cepat seputaran kebijakan yang seringkali membuat penonton awam mesti mencermati setiap kata. Yang tak kalah menariknya negara kita, Indonesia, disebut-sebut di film itu. Bahkan menjadi benang merah penting. 

Film ini juga menyampaikan pesan dan kritik terhadap sistem politik dan kondisi pengambil kebijakan politik. Menarik, mengingat negeri kita pun sepertinya mirip dengan kondisi tersebut.

Untuk yang menggemari film-film action, film ini tidak menawarkan adegan semacam itu. Tapi, buat yang menyukai intrik dan strategi politik, film ini layak ditonton.

Silakan menikmati...



~ elha score: 7.5/10

@di pojokan LRUB Kemang

Saturday, 18 February 2017

SPLIT (2017)

"...kita menjadi seperti apa yang kita pikirkan..."

Menonton film ini mengingatkan pada film Room (2015) dan The 10 Cloverfield Lane (2016) (http://elha-filmreview.blogspot.co.id/2016/04/the-10-cloverfiled-lane-2016.html). Keduanya bertema tentang penyekapan dalam sebuah ruangan. Film yang berbudget $9 juta meraup box office $173,6 juta. Wow!

Adalah Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), seorang korban kekerasan anak semasa kecil, yang didiagnosa memiliki kepribadian ganda. Eitt!, bukan ganda, tapi 23 kepribadian dalam satu tubuh. Atas bisikan salah satu kepribadian, ia menculik 3 anak remaja sepulang mereka dari pesta dan menyekapnya dalam sebuah ruangan. Alih-alih melukai ketiga remaja tersebut, Kevin justru memberi perlakuan yang baik kepada mereka. Setelah beberapa kali berinteraksi, Casey (Anna Taylor-Joy), Marcia (Jessica Sula), Claire (Haley Lu Richardson) menyadari kalau mereka berhadapan dengan orang yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Suatu kali mereka berhadapan dengan Barry sang perancang busana, Dennis yang 'clean', Patricia - seorang perempuan, dan Hedwig yang berkarakter anak-anak.

Casey mencoba mendekati Hedwig yang lebih akrab untuk mencoba membantunya mencari jalan keluar. Kedua temannya yang berusaha kabur ketika kepribadian Kevin masih sebagai Dennis dan Jessica tertangkap kembali dan disekap di ruangan lain secara terpisah. Dari Hedwig Casey tahu kalau ada kepribadian ke-24 dalam diri Kevin yang akan segera muncul, The Beast. Ternyata, untuk tujuan kemunculan The Beast inilah mereka diculik dan disekap oleh Kevin atau Barry atau Dennis atau Patricia.

Akankah Casey dan teman-temannya lolos dari penyekapan? Hmm..agar tidak mengurangi nuansa thriller, jadi ditonton sendiri ya... Clue-nya adalah si Casey pun pernah mengalami kekerasan di masa kecil. Ini ada hubungannya.

Sutradara M. Night Shyamalan memberikan alur cerita yang bagus dan membuat penonton terasa dicekam sekaligus penuh kejutan ketika karakter Kevin yang berbeda-beda muncul. Beberapa kali ia memunculkan adegan masa kecil Casey yang seolah-olah tak berhungan dengan inti film dan membuat penonton menebak-nebak kaitannya. Ia pun muncul sebagai cameo sebagai petugas pemantau CCTV. James Mc Avoy bermain bagus dengan karakter-karakter yang berbeda-beda. Ia secara keseluruhan memberi warna film ini.

Film ini membawa pesan untuk memperlakukan orang-orang berkepribadian ganda sebagai teman dan bukan orang aneh. Namun itu tidak dinyatakan secara tegas di film ketika Dr. Karen Fletcher (Betty Buckley) sang psikiater berdialog dengan tetangganya yang mengungkapkan bahwa sang tetangga tidak mempercayai pasien-pasiennya. 


~ elha score: 7.5/10