Saturday, 4 February 2017

BLEED FOR THIS

Pernah nonton film Dr Strange (2016) dimana sang dokter mengalami kecelakaan mobil dan menderita kelumpuhan?. Dengan kegigihan mampu melalkukan hal yang diluar dugaan. Nah, kalau di kisah Dr. Strange ala Marvel adalah fiksi, di kisah Bleed for This adalah kisah nyata.

Adalah seorang petinju asal Rhode Island 'Vinny Pasmanian Devil' Pazienza (Miles Teller), yang melakukan keajaiban itu. Kisah film ini memang berdasarkan comeback-nya Paz setelah mengalami kecelakaan mobil dan patah tulang leher. Kisa diawali dengan pertaruangan antara Pazienza dan Roger Mayweather, yang dimenangkan oleh Mayweather. Di pertarungan ini Paz harus dibawa ke rumah sakit setelah mengalami dehidrasi. Namun kekalahan ini tidak menyurutkan semangatnya. Belajar dari kekalahan - dengan menyimak rekaman pertandingan -, ia pun berlatih kembali. Tapi, kali ini naik 2 kelas dari sebelumnya dan siap berlaga dengan juara dunia dari Perancis, Gilbert Dele. Ia menaklukannya. 

Ketika di puncak karirnya sebagai juara dunia WBA Jr. Middleweight, ia mengalami kecelakaan dan menderita patah leher. Terpaksa selama 6 bulan menggunakan peralatan medis yang dinamakan HALO dan dipasang dengan memasang 4 buah sekrup di tengkoraknya. Teman-teman, pelatih, keluarga, bahkan ayahnya sendiri yang semula bersemangat menganggap karirnya sebagai petinju sudah tamat. Tak menyerah dengan keadaan, Paz terus berlatih dengan struktur HALO di kepalanya. Ketika HALO sudah dilepas dari kepalanya, ia tetap semangat berlatih dan memburu pertandingan kejuaraan. Melihat semangatnya, sang promotor pun mempertandingkannya dengan juara dunia yang sedang naik daun, Roberto Duran.

Akan Paz mampu mengatasi Duran dan mampu membalikkan omongan orang dan menandai sebagai comeback terbesar dalam sejarah tinju? Silakan dinikmati ya...

Miles Teller bermain bagus dan menonjol di film ini, seperti ketika ia beperan sebagai drummer di Whiplash. Pemeran lainnya terasa hanya sebagai supporting roles. Beberapa scene asli film ditampakkan, sehingga tampak jadul. Kisahnya memang di awal tahun 90-an. Film ini berating 21+ karena 'mengumbar' kekerasan di arena ring tinju. Ada nuansa religius di keluarga Paz, dimana sang ibu selalu berdoa saat Paz bertanding. Keluarga yang bahagia, kesannya. Paz pun adalah seorang anak penurut. Bertolak belakang dengan kisah-kisah Hollywood yang biasanya menyajikan keluarga berantakan. 

Pesan film ini sangat kuat, yaitu agar tidak menyerah dengan keadaan, seperti di kalimat Paz di akhir film:

"...hal yang berbahaya dalam hidup adalah kalimat 'Itu tidak sesederhana seperti yang kamu kira...'. Padahal, setelah kita lalui, ternyata hanya sesederhana itu saja..."

~ elha score: 7.5/10

Wednesday, 11 January 2017

LIVE BY NIGHT (2017)

"... jika Tuhan menulis ulang lagi al Kitab dan mencabut larangan (berjudi, mabuk, berzina dll.), akan aku hentikan khotbahku ..."

Setidaknya ada 2-3 dialog semacam itu sepanjang film. Setidaknya itu mewakili pandangan Ben Affleck yang menjadi pemeran utama sekaligus sutradara.

Film ini bergenre action yang mengambil setting di Boston pada awal tahun 30-an dimana para mafia dan gangster merajalela. Joe Coughlin (Ben Affleck), pemuda Irlandia veteran PD 1, kembali ke kota kelahirannya setelah perang usai. Alih-alih sebagai pahlawan perang, ia malah jadi kriminal dengan merampok klub atau bank. 'Bakat' ini mempertemukannya dengan Bos Mafia Irlandia yang sedang berseteru dengan kelompok Italia. Namun, persekutuan dengan Albert White (Robert Glenister), sang Boss Mafia Irlandia, buyar ketika sang boss membunuh kekasihnya. Joe pun memendam dendam. Dan itu dimanfaatkan oleh Maso Pescatore (Remo Girone), Gangster Italia, untuk menggerogoti kekuasaan Albert White di kota itu.

Atas perintah Maso, Joe pergi ke kota Ybor dan mulai menancapkan pengaruh di kota itu, sekaligus mengsmbil alih distribusi rum yang dikuasai oleh Albert White. Dengan intrik, suap, dan ancaman, Joe mulai berhasil menguasai kota. satu persatu penghalang dan lawan mulai ditaklukkan. Namun, ketika hendak medirikan sebuah kasino mewah di kota itu, ia mendapat tantangan dari seorang gadis cantik, Loretta (Elle Fanning). Sebuah dialog di kafe dan peristiwa tidak terduga, membuatnya berpikir ulang tentang apa yang telah dan hendak ia lakukan.

Apa yang Joe lakukan? Melanjutkan aturan yang sudah ada atau membuat aturan baru? Silakan ditonton...

Setelah bermain bagus di The Accountant (2016), mau tak mau perhatian penonton lebih banyak ke peran yang dimainkan Ben Affleck. Meskipun tetap berwajah dingin dan 'tak kenal ampun', di film ini Ben lebih banyak bicara dan menyungging senyum, terkesan ramah. Dua boss gangster dan Chris Messina sebagai Dion Bartolo, si tangan kanan Joe juga berperan bagus, mendukung peran tokoh utama. Elle Fanning mampu menampilkan gadis muda penuh semangat yang sedang mengajar mimpi sebagai bintang Hollywood, sekaligus sebagai sosok yang ringkih sekaligus berpengaruh sebagai pengkhotbah. Hanya saja, yang terakhir ini ia kurang menjiwai.

Jika kita membayangkan aksi film genre mafia ini seperti Scarface (1983) atau sekuel God Father yang melegenda,  kita tak akan dapat banyak. Ada beberapa pertempuran yang berdarah, ada balas dendam, seru namun tak sedramatis kedua film itu.

Sangat menarik melihat film yang dibangun sesuai setting-nya. Kita jadi belajar dan tahu karakter sebuah penduduk kota, kostum dan budaya pada masa itu, dll. Di film ini dijelaskan lewat narasi Dion Bartolo. Beberapa scene menampilkan pemandangan alam Amerika yang menawan.

Film ini memberi pesan yang sangat kuat tentang pembatasan (pelarangan) minuman keras, berjudi, prostitusi, dll. Ada sebuah dialog ketika Joe memberi ucapan selamat kepada Loretta ketika hanya dengan ucapannya yang berpengaruh mampu membuat masyarakat tergerak menolak pembangunan kasino. Loretta menjawab, tapi ia belum mampu menolak minuman keras karena menghilangkannya tak bisa secara frontal.

Sepertinya saya akrab dengan argumen seperti ini...;)

"Aku merasa surga itu sudah ada sejak disini (dunia)"
"Tapi kenapa seperti di neraka?"
"Karena kita telah merusaknya (dengan judi, mabuk)"


~elha score: 7.5/10     

Saturday, 7 January 2017

ARRIVAL (2016)

Sekadar peringatan bagi yang menyukai film dengan ritme cepat dan alur yang tak rumit, film Arrival (2016) ini jangan ditonton, he..he..

Adalah Louise Bank (Amy Adams), seorang ahli bahasa yang diperintah dan dijemput oleh Kolonel GT Weber (Forest Whitaker) perwira militer US untuk bergabung dengan team ke kamp militer di Montana. Bergabung juga disana seorang pakar fisika matematika, Ian Donnelly (Jeremy Ranner). Ternyata, di dekat kamp militer telah bertengger sebuah pesawat ruang angkasa berbentuk seperti tempurung, yang bukan milik manusia. Ada 12 pasang spacecraft yang tersebar di seluruh bumi. Hal ini menimbulkan prasangka dan kekacauan, takut kalau-kalau mahluk luar angkasa hendak menyerang bumi.

Kendala bahasa membuat kedua mahluk tak bisa berkomunikasi. Untuk itulah Louise dan Ian bergabung dalam team. Louise bertanggung jawab untuk menemukan cara agar bisa berkomunikasi. Ia berhasil menemukan komunikasi tulisan via simbol, sedangkan Ian bertugas menemukan pola matematis simbol tersebut. Problem muncul ketika berdialog dan mahluk extraterrestrial tersebut menuliskan kata "menawarkan senjata". Di belahan dunia yang lain, terucap "gunakan senjata". Hal itu makin membuat salah paham antar kedua mahluk, apalagi persepsi negatif manusia ketika didatangi oleh alien, mahluk luar angkasa.

Film ini banyak membahas tentang komunikasi, bagaimana satu kata bisa diinterpretasikan berbeda. Konotasi dan suasana hati pun turut mempengaruhi. Karena itu Louise mensyaratkan pertemuan dengan mahluk tersebut untuk bisa berkomunikasi. Ini seperti mengingatkan kita agar tetap berkomunikasi langsung alih-alih menggunakan media sosial yang minim interaksi fisik.

Lalu, bagaimana? Akan terjadi pertempuran ala Star Wars atau genre fiksi ilmiah ini mengikuti kisah Coccoon. E.T., atau film alien sejenis yang lebih ramah? Silakan disimak, ya...

Alur cerita berjalan lambat, berkilas balik ke masa ketika Louise berdialog bersama anak perempuannya yang meninggal karena kanker. Dialog-dialog ini membuka cakrawala Louise tentang diri dan kemampuannya sehingga mampu menemukan cara berdialog dengan mahluk alien tersebut. Meskipun lambat, penonton tetap 'dipaksa' duduk untuk mengetahui akhir kisah. Bentuk pesawat yang seperti tempurung tegak dengan ruang kosong yang anti gravitasi dan dinding kaca tempat berdialog merupakan ide yang orisinal. Menarik untuk disimak.

Meskipun karakter tokoh-tokohnya tidak ada yang luar biasa, penampilan Amy Adams yang seolah-olah menyimpan trauma kehilangan putrinya mampu memberi warna film dan membuat penonton penasaran. Jeremy Ranner sebagai pakar dan Forest Whitaker sebagai perwira US terkesan hanya sebagai pelengkap. 

Film ini membawa pesan tentang persatuan dan perdamaian antar bangsa dan umat manusia, juga alam semesta. Ada beberapa pesan filosofis tentang awal dan akhir (meski nonton lagi nih biar lebih paham, he..he..). Entah dengan penonton lain, di akhir film ketika bernarasi tentang awal dan akhir, saya bergumam: " Lho, kok!"

Sekali lagi, bagi yang menyukai alur yang linier dan cepat, film ini bukan tontonan yang mampu menghibur.



~ elha score: 7/10

Thursday, 5 January 2017

THE GREAT WALL (2017)

Ketika mendengar kata Great Wall atau Tembok Cina yang terbayang adalah sebuah bangunan dinding kokoh yang membentang sepanjang + 8000 km dan satu-satunya bangunan manusia yang tampak dari bulan. Pun membayangkan film dengan judul di atas adalah film kolosal, gegap gempita, dan luar biasa.

Tidak semuanya salah. Dan benar juga...

Film ini diawali dengan pengenalan karakter seorang William Garin (Matt Damon) sebagai seorang mantan serdadu bayaran dan kini pencuri culas. Bersama rekannya, ia hendak mencari powder hitam (bubuk mesiu) untuk dijual. Dikejar oleh sekelompok suku, ia terdesak di sebuah gua, dan 'tanpa sengaja' memotong lengan seekor monster. lengan ini membawanya masuk melewati the great wall yang dijaga ketat dan dipimpin komandan wanita, Lin Mae (Jing Tian). Ketatnya penjagaan dengan berbagai macam pasukan ternyata untuk mengantisipasi serangan mahluk monster Tao Tei yang berulang setiap 60 tahun.

Bagaimana kisah pertempuran antara prajurit tembok raksasa dengan para monster yang mirip raptor ini? Silakan ditonton di bioskop kesayangan anda...;)

Secara fisik, Matt Damon tetap menawan di film ini, terutama ketika tampil klimis. Namun jangan harap menyaksikan plot yang penuh intrik seperti di sekuel Jaon Bourne. Plot berjalan linear sehingga mudah disimpulkan. Karakter para tokoh pun terasa kurang greget, termasuk Andy Lau yang berperan sebagai Wang, si ahli strategi. Andi Lau sudah berusaha berperan bagus dengan menonjolkan kecerdasannya. Namun dibandingkan dengan Takeshi Kaneshiro, dengan peran ahli strategi juga, di film Red Cliff I & II, terasa sekali perbedaannya. Jing Tian sebagai Komandan Pasukan cukup memberi warna dengan kecantikannya. William Dafoe sebagai Ballard tetap konsisten denga peran antagonisnya. Tokoh-tokoh lain terasa sekali hanya sebagai pelengkap.

Seperti film-film lainnya, semacam Hero dan The Curse of Golden Flower, Zhang Yimou banyak menampilkan warna dan keragaman.Tampilan eksotik pemandangan sekitar dinding raksasa, kostum para pemain yang berwarna-warni, teknologi yang ada di balik dinding menolong minusnya plot dan klimaks film. Menurut saya ini bukan termasuk salah satu film terbaik karya Zhang Yimou, dan bukan peran terbaik Matt Damon.

Ketika melihat ribuan pasukan tempur di balik dinding dengan berbagai macam senjata, kita akan membayangkan pasukan lain dengan persenjataan tak kalah canggih siap menyerbu masuk ke dalam kota. Itu tidak terjadi, karena sang musuh bukanlah pasukan manusia. Mereka adalah binatang monster.

The Great Wall yang kokoh dibangun sang imperium untuk menangkal berbagai ancaman. Sebagiannya nyata, sebagian lagi legenda. 
Film ini tentang legenda...


~elha score: 6.5/10

Friday, 30 December 2016

DANGAL (2016)

Film-film besutan Aamir Khan selalu menarik ditonton, termasuk Dangal (2016) yang baru saja tayang. Bahkan kami menontonnya dua kali. Film ini berdasarkan kisah nyata kehidupan Mahavir Singh Phogat dan kedua putrinya, Geetha Phogat dan Bebita Kumari.

Film diawali dengan kompetisi gulat di TV yang mengingatkan Mahavir Singh (Aamir Khan) pada masa jayanya sebagai juara nasional dan impiannya menjuari kompetisi gulat level internasional. Sayangnya impiannya tidak tercapai karena masalah keuangan. Namun, ia tak melepas impiannya tersebut dan berharap diteruskan dan dicapai oleh anak-anaknya. Sayangnya, anak pertama terlahir perempuan. Begitu pula yang kedua, ketiga, dan keempat. Scene keinginan dan usaha untuk memperoleh anak laki-laki direkam dengan lucu, konyol, dan unik. Semua nasehat dan usaha yang dilakukan, tak membuahkan hasil sepertiyang diinginkan. Lambat laun Mahavir Singh melupakan impiannya.

Namun, kejadian tak terduga membangkitkan lagi harapannya saat Gheeta (Fatima Shana Shaikh) dan Bebita (Sanya Malhotra) menghajar dua anak laki-laki yang menganggunya. Mahavir Singh melatih kedua anaknya menjadi pegulat tangguh. Gheeta bahkan adalah wanita India pertama yang memenangkan emas di ajang internasional untuk kategori gulat. 

Plot cerita disusun dengan baik dan menggugah emosi penonton, terutama saat Gheeta berselisih dengan ayahnya, dan yang pada akhirnya meminta maaf. Scene yang hanya berupa sambungan telepon dan suara isak tangis betul-betul menguras emosi. Untuk film ini Aamir Khan, yang memerankan dua karakter, mesti menaikkan bobot tubuhnya sampai 30 kg untuk memerankan tokoh Mahavir Singh tua. Kemudian menurunkan lagi dalam waktu 5 bulan untuk memerankan Mahavir Singh usia 20an. Benar-benar totalitas. Selain Aamir Khan, Gheeta dan Bebita muda (Zaira Wasim dan Suhani Bhatnagar) bermain sangat bagus. Ini adalah debut pertama film mereka.

Lagu-lagu di film ini sangat nyaman dinikmati, terutama lagu Naina yang dilagukan oleh Arijit Singh.

Seperti film-film laiinya, Aamir Khan selalu menyisipkan pesan atau kritik sosial. Kali ini tentang kepedulian terhadap hak-hak kaum perempuan. Terutama di India, dimana wanita masih dianggap masih menjadi 'beban'.

Bagi penggemar film Hindi, Dangal bisa dijadikan tontonan hiburan sebelum menutup akhir tahun ini. Janganlah sampai terlewat ya...


 ~ elha score: 9/10

Thursday, 17 November 2016

FANTASTIC BEAST - AND WHERE TO FIND THEM (2016)

Film ini termasuk salah satu film yang ditunggu-tunggu. Termasuk oleh Qaulan Sadiida yang sedang menggemari serial Harry Potter. Ya...film ini memang spin off dari serial itu, bersetting jauh sebelum era Harry Potter dan kawan-kawan bersekolah di Hogwart.

Kisah dimulai dengan kedatangan Newt Scamander (Eddie Redmayne), seorang magizoologist ke New York dengan membawa sebuah koper ajaib yang berisi hewan-hewan gaib. Tujuannya ke New York adalah untuk mengumpulkan kembali hewan-hewan gaib yang hilang atau kabur. Salah satunya adalah Niffler yang lucu, seekor hewan pengerat yang menyukai benda berkilau. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Niffler membawa Newt bertemu dengan Tina (Katherine Waterston), seorang auror (polisi sihir) dan seorang No-Maj (American Muggle) sekaligus pembuat roti, Jacob Kowalski (Dan Fogler).  Pelacakan dan pencarian hewan-hewan gaib tersebut membawa mereka pada sebuah plot dan intrik yang membuka tabir dan perselisihan antara kaum penyihir dan non penyihir di Amerika.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah itu dan pada siapa mereka berpihak? Silakan dinikmati ya...

Ini adalah debut JK Rowling sebagai penulis skenario berdasarkan bukunya sendiri yang berjudul sama. Seperti biasa, JK Rowling dan sutradara David Yates 'mengumbar' imajinasi diluar yang dibayangkan penonton. Terlihat ketika memasuki gedung MASCURA dengan segala perniknya, dan juga berbagai macam hewan gaib 'blasteran'. Ada Niffler, Demiguise yang transparant, Occamy yang volume tubuhnya menyesuaikan ruang, Obscura, dll.

Penonton juga akan tergoda untuk menduga koneksi antara tokoh-tokoh di Fantastic Beasts dengan di serial Harry Potter. Contohnya. Newt dan Hagrid yang sama-sama menyukai hewan gaib. Atau kisah asmara antara Jacob dan Queenie (Alison Sudol) yang mungkin berkoneksi dengan Hermione.

Awalnya cerita berjalan lambat dan cenderung membosankan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh. Namun, gambar dan imajinasi mampu memberi penawar. Akting tokoh-tokohnya terasa biasa saja, kecuali untuk Collin Farrel yang mampu berperan sebagai tokoh antagonis sebagai Percival Graves. O, ya..meskipun cuma sebentar, muncul wajah Johnny Depp yang berperan sebagai Gellert Grindelwald. Karakter yang terakhir ini pun menggoda penonton untuk merujuk pada karakter Voldemort.

Secara keseluruhan, film ini cukup menghibur, Dan nantikan keempat sekuel berikutnya untuk memasuki dunia sihir JK. Rowling yang lain...:)


~elha score: 7.5/10

Tuesday, 8 November 2016

HACKSAW RIDGE (2016)

"Lord, please help me get more and more, one more, until there was none left, and I'm the last one down"  ~ Desmond T. Doss

Terasa puas begitu keluar dari bioskop setelah menonton film ini. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Haksaw Ridge (2016) ini. Ya...film ini berkisah tentang misi hidup dan keteguhan dalam memegang prinsip dan keyakinan yang diambil dari kisah nyata salah seorang pahlawan besar Amerika: Prajurit Desmond 'Pohon Jagung' Doss.

Ia menjadi pahlawan tanpa sebutir peluru pun ia tembakkan.

Bersetting pertempuran besar Okinawa selama PD 2, film diawali dengan dentuman peledak, desingan peluru, dan prajurit Doss yag ditandu. Kemudian adegan flashback ke masa kecil Doss yang bermain dan bercanda dengan sang kakak. Candaan yang keterlaluan hampir membuat sang kakak tewas. Peristiwa ini dan peristiwa di sebuah rumah sakit ketika dia menolong seorang teman begitu membekas dalam jiwanya. Ketika 'Amerika Memanggil', seperti pemuda-pemuda lainnya Dos pun mendaftar menjadi seorang prajurit. Dan diterima. Namun, karena prinsip keyakinan ia tidak mau memegang senjata untuk membunuh.

"...biarlah yang lain membunuh, tapi aku akan coba menyelamatkan. Biarkan aku membangun sedikit pada dunia yang sudah rusak..."

Awalnya, penolakan Doss untuk memanggul senjata dan bertempur membuat kawan-kawan se-kompi melecehkannya. Bahkan ia sempat diadili karena membangkang perintah. Namun, keyakinan akan misi hidup dan sepucuk surat dari seorang jenderal membuatnya tetap bisa bergabung dengan tentara dan bertugas sebagai paramedis. Dalam sebuah adegan pertempuran, prajurit Doss bahkan melakukan aksi heroik yang bahkan prajurit bersenjata pun takkan mampu melakukannya. Karena aksinya itu, ia memperoleh penghargaan Medal of Honor, sebuah penghargaan militer tertinggi.

Andrew Garfield - kita mungkin akrab dengan perannya sebagai Spiderman - berperan bagus sebagai private Doss, begitu pula dengan akting Vince Vaughn sebagai Sergeant Howell dan Sam Worthington (Capt Glover). Bumbu cinta Doss dan Dorothy cukup memberi warna tentang arti sebuah kesetiaan. Apresiasi juga patut diberikan kepada Doss kecil yang mampu memerankan mimik penyesalannya. Sutradara Mel Gibson tak segan menampilkan kekejaman perang. Mayat terluka dan berdarah, perut terburai, kaki hancur terkena ledakan, kepala yang dipenggal, semuanya bahkan tampak nyata. 

Alur cerita mudah dicerna, tak perlu mengernyitkan dahi. Hanya perlu ekstra nyali meski bukan sedang menonton cerita horor, he..he.. Separuh film bercerita tentang kondisi dan kejiwaan Doss (dan keluarga yang membentuknya). Di satu sisi menyakini ajaran agamanya dengan teguh, dan di sisi lain dihadapkan pada kenyataan yang mempertanyakan keyakinannya. Separuh film lainnya mempertontonkan kekejaman dan kebrutalan sebuah perang.

Ada sebuah adegan close up yang saya suka, yaitu ketika tentara Sekutu tertembak dan terjatuh diikuti oleh tentara Jepang yang tertembak dan terjatuh pula berhadapan. Seolah-olah sang sutradara berpesan: dalam perang tak ada yang namanya pemenang, semua adalah korban.

Hmm...menarik kan?

Mempertimbangkan kekejaman dan banyaknya darah, film ini tak patut ditonton oleh anak-anak

~ elha score: 9/10