Monday, 22 May 2017

ZIARAH (2017)

"...aku itu nggak ngerti. Ada yang begini, ada yang ngomong begitu. Aku nggak ngerti mana yan bener, aku cuma ingin menemukan pesarean suami.."

Entah kenapa film ini hanya diputar di 2 tempat. Itu pun hanya di Jakarta: di Blok M Square dan TIM, padahal film ini menjadi viral di medsos karena tokoh utamanya, si nenek tua, menjadi salah satu nominasi aktris terbaik ASEAN. Mungkin, pelaku industri bioskop berpikir film-film festival kurang layak jual kali ya? Sayang sekali...

Akhirnya kami bela-belain nonton di Blok M Square setelah sesi Pol.Ja di Kemang.

Film diawali dengan prosesi pemakaman yang dengan jeli mengambil scene seolah-olah dari mata jenasah. Seluruh film ini memang berkisah tentang makam dan pemakaman. Tapi, bukan genre horror loh! Scene pun beralih ke seorang nenek tua,Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang tertegun dan mempunyai keinginan untuk menemukan makam sang suami. Dari tuturan kisahnya, sang suami adalah salah seorang pejuang saat Belanda melakukan agresi ke-2. Sebelum pergi dia berpesan ke istrinya bahwa kalau tidak kembali berarti dia sudah tewas dalam berjuang merebut kemerdekaan. Namun, keinginan Mbah Sri agar saat dia meninggal nanti dikubur disamping makam suaminya, mampu memberi kekuatan di usia senja untuk melakukan perjalanan menemukan makam sang suami. Satu persatu Mbah Sri berusaha menemukan sumber-sumber informasi dimana dia bisa menemukan makam sang suami.

Film ini berakhir happy ending, namun dengan kejutan di penghujung cerita. Penonton bisa mentafsirkan apa yang terjadi dengan suami mbah Sri dan apa yang dirasakan Mbah Sri. Seperti apakah? Hmm...lebih baik ditonton sendiri ya. Film Ziarah berkisah tentang kesetiaan, keteguhan, dan kepasrahan. Banyak adegan dan dialog berbobot sepanjang film yang membuat perenungan kita dalam memandang kehidupan, seperti yang diucapkan oleh cucu Mbah Sri, Prapto (Rukman Rosadi):

"...kalau kita selalu mendengar perkataan dan suara orang-orang, nanti kita malah tidak mampu mendengar suara (nurani) kita sendiri..."

B.W. Purwanegara, sebagai sutradara, mampu menggiring penonton untuk mengikuti perjalanan Mbak Sri mencari makam sang suami. Ada rasa iba ketika jalan terasa buntu, juga merasa ikutan kelelahan, sekaligus penasaran sambil menebak clue-clue yang diberikan sumber informasi kira-kira dimana dimakamkan. Patut diapresiasi juga usaha sang sutradara untuk membimbing pemain-pemain tua yang bukan aktris agar mampu berperan. Terbayang sih kira-kira susah nggak pemain-pemain tersebut menghafalkan dialog. Untungnya dialog sepanjang film menggunakan bahasa Jawa, yang sangat tidak asing bagi para pemain, sehingga membuat mereka lebih santai meskipun di beberapa adegan terlihat kaku.

Ide dan alur cerita orisinil, meskipun cerita mengalir begitu saja tanpa banyak konflik. Pengambilan gambar pun terkesan biasa saja, tidak menampilkan sisi keindahan alam pedesaan yang sebenarnya bisa lebih dieksplore. Mungkin, sutradara lebih mengfokuskan pada keteguhan sang tokoh utama untuk mencapai obsesinya. Namun, secara keseluruhan film ini layak ditonton bersama keluarga.


~ elha score: 7.5/10

No comments:

Post a Comment