"Trinil, apa yang kamu pelajari dari boso Londo?"
"Kebebasan, Ibu"
"Apa yang tidak ada disana?"
"Kebebasan, Ibu"
"Apa yang tidak ada disana?"
.....
Sepenggal dialog antara Kartini (Dian Sastrowardoyo) dan sang Ibu, Ngasirah (Christine Hakim), menjawab beberapa pertanyaan secara terang - setidaknya pertanyaan saya - tentang cita-cita emansipasi dengan sikap beliau yang sepertinya bertolak belakang.
Prolog film diawali dengan adegan Kartini beringsut, berjalan hormat ala budaya Jawa, untuk menghadap Romo ayahandanya untuk membicarakan masa depannya. Kemudian adegan flashback Kartini kecil yang menangis keras karena tidak mau tidur berpisah dengan Yuk Ngasirah. Saat itu Kartini kecil sudah baligh dan harus menjalani pingitan. Sesuai budaya Jawa masa itu, seorang anak perempuan bangsawan yang sudah mengalami menstruasi pertama harus menjalani pingitan, tidak boleh keluar rumah, terpaksa keluar dari sekolah, dan berpisah dari teman-teman, sampai ia dipinang oleh calon suami. Hal ini bertolak belakang dengan karakter Kartini, yang di film ini digambarkan sedikit rebel oleh sang sutradara. Terlihat saat adegan ia memplonco kedua saudaranya yang baru saja menjalani pingitan di kamar. Juga adegan memanjat pohon dan duduk di tembok sambil mengobrol lepas. Gambaran ini memberi kita perspektif baru tentang RA Kartini.
Untung saja, saat masih bersekolah di ELS (Europese Lagere School) Kartini termasuk anak yang cerdas, sehingga ketidakberadaannya membuat guru-guru merasa kehilangan dan karena itu mengunjungi rumahnya. Jadi, Kartini masih memperoleh berita-berita dari luar tembok rumah, terutama cerita tentang berdayanya wanita, kehidupan sosial di negeri lain, dsb. Apalagi ketika sang kakak yang suka merantau, RM Sosrokartono (Reza Rahardian), memberi sebuah kunci yang membuka cakrawala wawasannya tentang dunia. Buku dan surat-surat dari sang kakak inilah yang memotivasi Kartini untuk mendobrak keterbatasan dan memberdayakan perempuan.
Dari surat menyurat sang kakak dan teman-teman Belanda di Japara, Kartini pun memulai korespondensi dan berhubungan dengan teman-teman di luar negeri. Sang sutradara cukup unik dengan menggambarkan adegan dan dialog Kartini dengan teman korespondensinya secara nyata dengan latar belakang dunia Eropa. Jadinya, terkesan lebih hidup dan natural!
Film pun bergulir dari pujian masyarakat Belanda di Jawa terhadap Kartini dan menempatkannya sebagai perempuan berpikiran maju, lalu tantangan dari sang kakak pertama, RM Slamet Sosroningrat (Deni Sumargo), dukungan dari sang ayah, Bupati Rembang. Sang ayah, RM Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), termasuk salah seorang bangsawan yang mendobrak aturan ketika membolehkan sang anak perempuan bersekolah tinggi. Lalu adegan kiprah Kartini yang menghidupkan dan mendukung seni ukir Japara agar mendunia, hasrat keingitahuan Kartini terhadap ayat-ayat suci al Quran, sampai akhirnya adegan kembali ke awal film, yaitu ketika Kartini harus menjawab lamaran dari Bupati Rembang yang berkenan memperistrinya.
Dan film pun berlanjut seperti sejarah yang telah kita ketahui...
Dan film pun berlanjut seperti sejarah yang telah kita ketahui...
Hanung Bramantyo, sebagai sutradara, cukup piawai memainkan plot film dan memasukkan beberapa filosofi Jawa tentang kehidupan. Misalnya, tentang aksara Jawa ketika Kartini dan ibunya berdialog. Visualisasi tentang korespondesi surat dan cerita di buku yang sangat menarik dengan penggambaran langsung dan nyata. Tembang Jawa yang mengalun sendu dan visual kehidupan di dalam kadipaten yang sepi makin menggambarkan kehidupan pingit dan gejolak hati Kartini yang menggelegak ingin bebas, namun terikat tradisi. Sebagai balance sang sutradara pun menyematkan semangat dalam dialog Kartini dan kakaknya: raga boleh terkurung dalam kamar, tapi pikiran tetap harus berkelana (sang kakak ini memang seorang pengelana di Eropa dengan kemampuan 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah, silakan baca link berikut: https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-sosrokartono-orang-indonesia-paling-jenius.html).
Sutradara Hanung Barmantyo sangat kuat menggambarkan dilema antara kebebasan, jati diri perempuan, dan fitrah perempuan. Digambarkan pada adegan RA Roekmini (Acha Septriasa) yang menolak perkawinan karena menganggap sebagai dominasi pria terhadap wanita. Masa itu wanita tidak banyak memiliki pilihan. Pun, Hanung memberi pesan implisit agar perempuan memiliki wawasan luas dan berdaya guna, namun tak melupakan jadi diri keperempuanan dan adat istiadat dimana ia berada. Ini tergambar pada adegan saat Kartini menerima lamaran Bupati Rembang dengan syarat. Salah satunya adalah sang suami harus mendukung kegiatan istri untuk memberi pendidikan pada kaum wanita dan kaum miskin. Juga pada syarat, ia tidak akan melakukan tradisi mencuci kaki suami saat upacara pernikahan. Itulah 'pemberontakannya'.
Namun, juga ada batas. Kartini akhirnya harus menentukan sikap yang selaras antara cita-citanya dan fitrah perempuan. Dan itu ia temukan dari pertanyaan dan jawaban seorang ibu, seperti pada dialog diawal tulisan ini, yaitu: B A K T I
Film ini sangat menarik ditonton bersama keluarga, sambil memberikan pemahaman kepada anak-anak apa itu persamaan hak untuk kaum perempuan dan emansipasi semacam apa yang dicita-citakan Kartini. Sebagai tambahan info, nukilan korespodensi Kartini ini bisa dijadikan referensi:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan wanita,
bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi
saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin
pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
~ elha score: 7.5/10
No comments:
Post a Comment