Friday, 30 December 2016

DANGAL (2016)

Film-film besutan Aamir Khan selalu menarik ditonton, termasuk Dangal (2016) yang baru saja tayang. Bahkan kami menontonnya dua kali. Film ini berdasarkan kisah nyata kehidupan Mahavir Singh Phogat dan kedua putrinya, Geetha Phogat dan Bebita Kumari.

Film diawali dengan kompetisi gulat di TV yang mengingatkan Mahavir Singh (Aamir Khan) pada masa jayanya sebagai juara nasional dan impiannya menjuari kompetisi gulat level internasional. Sayangnya impiannya tidak tercapai karena masalah keuangan. Namun, ia tak melepas impiannya tersebut dan berharap diteruskan dan dicapai oleh anak-anaknya. Sayangnya, anak pertama terlahir perempuan. Begitu pula yang kedua, ketiga, dan keempat. Scene keinginan dan usaha untuk memperoleh anak laki-laki direkam dengan lucu, konyol, dan unik. Semua nasehat dan usaha yang dilakukan, tak membuahkan hasil sepertiyang diinginkan. Lambat laun Mahavir Singh melupakan impiannya.

Namun, kejadian tak terduga membangkitkan lagi harapannya saat Gheeta (Fatima Shana Shaikh) dan Bebita (Sanya Malhotra) menghajar dua anak laki-laki yang menganggunya. Mahavir Singh melatih kedua anaknya menjadi pegulat tangguh. Gheeta bahkan adalah wanita India pertama yang memenangkan emas di ajang internasional untuk kategori gulat. 

Plot cerita disusun dengan baik dan menggugah emosi penonton, terutama saat Gheeta berselisih dengan ayahnya, dan yang pada akhirnya meminta maaf. Scene yang hanya berupa sambungan telepon dan suara isak tangis betul-betul menguras emosi. Untuk film ini Aamir Khan, yang memerankan dua karakter, mesti menaikkan bobot tubuhnya sampai 30 kg untuk memerankan tokoh Mahavir Singh tua. Kemudian menurunkan lagi dalam waktu 5 bulan untuk memerankan Mahavir Singh usia 20an. Benar-benar totalitas. Selain Aamir Khan, Gheeta dan Bebita muda (Zaira Wasim dan Suhani Bhatnagar) bermain sangat bagus. Ini adalah debut pertama film mereka.

Lagu-lagu di film ini sangat nyaman dinikmati, terutama lagu Naina yang dilagukan oleh Arijit Singh.

Seperti film-film laiinya, Aamir Khan selalu menyisipkan pesan atau kritik sosial. Kali ini tentang kepedulian terhadap hak-hak kaum perempuan. Terutama di India, dimana wanita masih dianggap masih menjadi 'beban'.

Bagi penggemar film Hindi, Dangal bisa dijadikan tontonan hiburan sebelum menutup akhir tahun ini. Janganlah sampai terlewat ya...


 ~ elha score: 9/10

Thursday, 17 November 2016

FANTASTIC BEAST - AND WHERE TO FIND THEM (2016)

Film ini termasuk salah satu film yang ditunggu-tunggu. Termasuk oleh Qaulan Sadiida yang sedang menggemari serial Harry Potter. Ya...film ini memang spin off dari serial itu, bersetting jauh sebelum era Harry Potter dan kawan-kawan bersekolah di Hogwart.

Kisah dimulai dengan kedatangan Newt Scamander (Eddie Redmayne), seorang magizoologist ke New York dengan membawa sebuah koper ajaib yang berisi hewan-hewan gaib. Tujuannya ke New York adalah untuk mengumpulkan kembali hewan-hewan gaib yang hilang atau kabur. Salah satunya adalah Niffler yang lucu, seekor hewan pengerat yang menyukai benda berkilau. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Niffler membawa Newt bertemu dengan Tina (Katherine Waterston), seorang auror (polisi sihir) dan seorang No-Maj (American Muggle) sekaligus pembuat roti, Jacob Kowalski (Dan Fogler).  Pelacakan dan pencarian hewan-hewan gaib tersebut membawa mereka pada sebuah plot dan intrik yang membuka tabir dan perselisihan antara kaum penyihir dan non penyihir di Amerika.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah itu dan pada siapa mereka berpihak? Silakan dinikmati ya...

Ini adalah debut JK Rowling sebagai penulis skenario berdasarkan bukunya sendiri yang berjudul sama. Seperti biasa, JK Rowling dan sutradara David Yates 'mengumbar' imajinasi diluar yang dibayangkan penonton. Terlihat ketika memasuki gedung MASCURA dengan segala perniknya, dan juga berbagai macam hewan gaib 'blasteran'. Ada Niffler, Demiguise yang transparant, Occamy yang volume tubuhnya menyesuaikan ruang, Obscura, dll.

Penonton juga akan tergoda untuk menduga koneksi antara tokoh-tokoh di Fantastic Beasts dengan di serial Harry Potter. Contohnya. Newt dan Hagrid yang sama-sama menyukai hewan gaib. Atau kisah asmara antara Jacob dan Queenie (Alison Sudol) yang mungkin berkoneksi dengan Hermione.

Awalnya cerita berjalan lambat dan cenderung membosankan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh. Namun, gambar dan imajinasi mampu memberi penawar. Akting tokoh-tokohnya terasa biasa saja, kecuali untuk Collin Farrel yang mampu berperan sebagai tokoh antagonis sebagai Percival Graves. O, ya..meskipun cuma sebentar, muncul wajah Johnny Depp yang berperan sebagai Gellert Grindelwald. Karakter yang terakhir ini pun menggoda penonton untuk merujuk pada karakter Voldemort.

Secara keseluruhan, film ini cukup menghibur, Dan nantikan keempat sekuel berikutnya untuk memasuki dunia sihir JK. Rowling yang lain...:)


~elha score: 7.5/10

Tuesday, 8 November 2016

HACKSAW RIDGE (2016)

"Lord, please help me get more and more, one more, until there was none left, and I'm the last one down"  ~ Desmond T. Doss

Terasa puas begitu keluar dari bioskop setelah menonton film ini. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Haksaw Ridge (2016) ini. Ya...film ini berkisah tentang misi hidup dan keteguhan dalam memegang prinsip dan keyakinan yang diambil dari kisah nyata salah seorang pahlawan besar Amerika: Prajurit Desmond 'Pohon Jagung' Doss.

Ia menjadi pahlawan tanpa sebutir peluru pun ia tembakkan.

Bersetting pertempuran besar Okinawa selama PD 2, film diawali dengan dentuman peledak, desingan peluru, dan prajurit Doss yag ditandu. Kemudian adegan flashback ke masa kecil Doss yang bermain dan bercanda dengan sang kakak. Candaan yang keterlaluan hampir membuat sang kakak tewas. Peristiwa ini dan peristiwa di sebuah rumah sakit ketika dia menolong seorang teman begitu membekas dalam jiwanya. Ketika 'Amerika Memanggil', seperti pemuda-pemuda lainnya Dos pun mendaftar menjadi seorang prajurit. Dan diterima. Namun, karena prinsip keyakinan ia tidak mau memegang senjata untuk membunuh.

"...biarlah yang lain membunuh, tapi aku akan coba menyelamatkan. Biarkan aku membangun sedikit pada dunia yang sudah rusak..."

Awalnya, penolakan Doss untuk memanggul senjata dan bertempur membuat kawan-kawan se-kompi melecehkannya. Bahkan ia sempat diadili karena membangkang perintah. Namun, keyakinan akan misi hidup dan sepucuk surat dari seorang jenderal membuatnya tetap bisa bergabung dengan tentara dan bertugas sebagai paramedis. Dalam sebuah adegan pertempuran, prajurit Doss bahkan melakukan aksi heroik yang bahkan prajurit bersenjata pun takkan mampu melakukannya. Karena aksinya itu, ia memperoleh penghargaan Medal of Honor, sebuah penghargaan militer tertinggi.

Andrew Garfield - kita mungkin akrab dengan perannya sebagai Spiderman - berperan bagus sebagai private Doss, begitu pula dengan akting Vince Vaughn sebagai Sergeant Howell dan Sam Worthington (Capt Glover). Bumbu cinta Doss dan Dorothy cukup memberi warna tentang arti sebuah kesetiaan. Apresiasi juga patut diberikan kepada Doss kecil yang mampu memerankan mimik penyesalannya. Sutradara Mel Gibson tak segan menampilkan kekejaman perang. Mayat terluka dan berdarah, perut terburai, kaki hancur terkena ledakan, kepala yang dipenggal, semuanya bahkan tampak nyata. 

Alur cerita mudah dicerna, tak perlu mengernyitkan dahi. Hanya perlu ekstra nyali meski bukan sedang menonton cerita horor, he..he.. Separuh film bercerita tentang kondisi dan kejiwaan Doss (dan keluarga yang membentuknya). Di satu sisi menyakini ajaran agamanya dengan teguh, dan di sisi lain dihadapkan pada kenyataan yang mempertanyakan keyakinannya. Separuh film lainnya mempertontonkan kekejaman dan kebrutalan sebuah perang.

Ada sebuah adegan close up yang saya suka, yaitu ketika tentara Sekutu tertembak dan terjatuh diikuti oleh tentara Jepang yang tertembak dan terjatuh pula berhadapan. Seolah-olah sang sutradara berpesan: dalam perang tak ada yang namanya pemenang, semua adalah korban.

Hmm...menarik kan?

Mempertimbangkan kekejaman dan banyaknya darah, film ini tak patut ditonton oleh anak-anak

~ elha score: 9/10


Monday, 17 October 2016

THE ACCOUNTANT (2016)

"...lanjutkan saja, tidak apa-apa".Kalimat itu benar-benar ada di dalam film saat adegan Christian Wolff (Ben Affleck) kecil berlatih beladiri di suatu tempat di Indonesia. Diceritakan dia bersama adik dan ayahnya berpindah-pindah tempat tinggal karena ayahnya yang seorang tentara. Tentu saja, ini menjadi kejutan bagi penonton, Bangga dong! 

Jangan dibayangkan film ini penuh dengan angka dan perhitungan ala akuntansi, justru film diawali dengan rententan bunyi pistol dan tergeletaknya korban. Adegan pun berlanjut ke masa kecil Wolff yang sedang berada - bersama kedua orang tua dan adiknya Braxton (John Brenthal), di ruang konsultasi dokter. Wolff kecil didiagnosa menderita autis asperger dan terobsesi menyelesaikan pekerjaan atau aktifitas yang dimulainya. Di scene itu, dia terobesisi menyelesaikan sebuah puzzle. Ia juga menyukai matematika dan ketika dewasa berprofesi menjadi akuntan forensik, yang berhubungan dengan pencucian uang milik organisasi-organisasi berbahaya.

Keterlibatannya dengan organisasi-organisasi tersebut membuatnya diburu oleh Treasury Agent dari Departemen Keuangan.

Ketika sedang mengaudit sebuah perusahaan robotic, ia dan seorang junior akuntan, Dana Cummings (Anna Kendrick) menemukan aliran uang yang tidak semestinya, yang membuatnya diiburu oleh sebuah kelompok yang tidak menginginkan kecurangan itu terekspose. Hal ini membuat Wolff membuka 'topeng' dan turun tangan untuk menyelamatkan Dana.

Plot film ini sangat menarik, menawarkan sebuah kejutan di akhir film (meskipun penonton bisa bisa menebaknya jika jeli). Beberapa adegan flashback ke masa kecil Wolff untuk memperkenalkan latar belakang dan karakter. Adegan di suatu tempat di Indonesia termasuk di bagian ini.

Ben Affleck cukup mampu berperan sebagai seorang yang penyendiri yang menyembunyikan jati diri. Hal ini mengingatkan karakter Denzel di film Equalizer (2014). Memang sih, saat menonton ini mau tidak mau teringat pada film tersebut. Anna Kendrick bermain biasa saja sebagai pendamping Ben Affleck. Perannya mengingatkan pada Teri (Cloe Grace Moretz) di The Equalizer. J.K. Simmons yang berperan sebagai Ray King, Treasury Agent, bermain bagus dan berkarakter seperti saat ia bermain di Wiplash (2014).

Bagi yang suka dengan genre action dan thriller, film ini jangan sampai terlewatkan. Nikmati saja dan anda akan terpuaskan.

Sipp!

~ elha score: 8/10

Thursday, 13 October 2016

INFERNO (2016)

Inferno adalah bagian dari puisi epik Dante Alighieri, Divine Comedy (1308 M), berkisah tentang perjalanannya ke neraka. Bagian puisi itu menjadi inspirasi Dan Brown dalam novelnya dan Ron Howard yang memvisualisasikannya dalam bentuk film.

Bermula dari potongan-potongan video Bertrand Zobrist (Ben Foster), seorang yang berkeyakinan populasi dunia terlalu padat membawa banyak masalah dan bencana. Dan dia memiliki 'solusi'-nya. Tapi, solusinya pun mengancam keberadaan manusia, sehingga ia pun diburu oleh kelompok yang pro untuk mewujudkan niatnya maupun oleh kelompok yang kontra dan ingin menggagalkannya. Semuanya dengan dalih kemanusiaan

Rahasia itu menjadi misteri ketika Zobrist 'terbunuh', namun ia memberikan petunjuk berupa simbol-simbol dan kode yang menuntun ke lokasi tempat ia menyimpan rahasianya. Nah, disini Prof. Langdon (Tom Hanks), sebagai ahli fiksi simbologi, berperan. Dia dibantu oleh Dr. Sienna Brooks (Felicity Jones) untuk mengungkapkan misteri itu.

Akankah kali ini dia berhasil?

Dibandingkan dengan dua sekuel sebelumnya, kemisteriusan Inferno kurang mencekam. Juga, tidak kontoversial. Penonton tidak merasa terlibat untuk memecahkan simbol dan kode yang pun tidak banyak tersebar di sepanjang film.  Namun, alur cerita menolong plot film ini. Penonton akan dikejutkan di akhir cerita tentang siapa kawan siapa lawan. Dan seperti biasa Tom Hanks selalu bermain prima dalam setiap film yang dilakoninya.

Secara keseluruhan, film ini lumayan bagus, teapi jika berharap menyaksikan kemisteriusan seperti dua sekuel sebelumnya, film ini masih dibawah keduanya. Buat hiburan sih tetap okay...:)


~elha score: 7/10



 

Sunday, 25 September 2016

ONE DAY (2016)

Ini film Thailand bergenre romantis pertama yang kami lihat. Biasanya sih lihat iklan-iklan produk yang mengesankan.

Film ini diawali dengan pengenalan karakter Denchai (Chantavit 'Ter' Dhanasevi), seorang karyawan IT perusahaan makanan yang pemalu, introvert, menganggap dirinya tak ada sehingga orang-orang pun menganggapnya demikian. Ia merasa orang-orang baru mengenalnya ketika membutuhkan bantuannya untuk memperbaiki komputer. Bahkan dalam suatu adegan pesta kostum, ia digambarkan memakai kostum batu bata agar tampak menyatu dengan dinding. Makin kuatlah karakternya sebagai nobody.  

Suatu hari seorang karyawan marketing baru, Nui (Nittha 'Mew' Jirayungyurn) membutuhkan bantuan Denchai karena PC-nya ngadat untuk mencetak dokumen. Pertemuan itu rupanya amat membekas pada Denchai yang langsung menyukai Nui. Sayangnya, Denchai hanya berani melihat dan menguntit saja, tak mampu mengutarakan. Ia mengetahui apa yang disukai Nui, tentang makanan, musik, kenapa dia selalu datang terlambat, keinginannya menyaksikan Festival Salju di Sapporo, juga tahu kalau si Nui sedang didekati oleh sang Boss dan menjadi kekasihnya.

Dalam suatu perjalanan tamasya kantor, Nui mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ia mengalami TGA (Transient Global Amnesia), suatu gangguan daya ingat yang tak mampu mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah diperiksa oleh dokter, Nui hanya akan kehilangan memorinya selama 1 hari, dan esok harinya ia tak akan mengingat lagi apapun peristiwa yang terjadi hari ini. Hal ini dimanfaatkan oleh Denchai untuk berpura-pura menjadi kekasih Nui sebelum berganti hari.

Akankah penyamaran Denchai terbongkar? Bagaimana dengan sang Boss, kekasih Nui? Bagaimana ending cerita? Hmm...silakan ditonton ya. Film menawarkan plot yang membuat penonton penasaran, geli, sedih juga romantis. Yang pasti ending ceritanya mengejutkan. Beberapa alur cerita dibuat flasback untuk menjawab pertanyaan penonton tentang suatu adegan, sehingga penonton pun dibuat mengerti dan bergumam: "O..begitu rupanya!"

Film tentang kehilangan memori banyak diangkat sebagai tema film. Jab Tak Hai Jaan (2012), Before I Go to Sleep (2014), bahkan Finding Dori (2016) adalah diantaranya. Film One Day mengangkat tema yang sama namun dikisahkan dengan berbeda. Karakter Denchai diperankan dengan bagus oleh Ter Chantavit. Sebagai pemula di layar lebar peran Nui juga dimainkan sempurna oleh Mew Nittha.

Film ini juga memberi pesan tentang kejujuran, pengorbanan dan harga diri.  

Oke deh, silakan dinikmati, Sepertinya film ini hanya diputar di CGV Blitz. Jadi, kalau sudah tidak tayang, mungkin bisa ditonton melalui VCD.  


~elha score: 7.5/10
     

Thursday, 22 September 2016

THE MAGNIFICENT SEVEN (2016)

Film ini merupakan remake film dengan judul yang sama direlease tahun 1960 dibintangi oleh Steve Mc Queen dan Charles Bronson. Film itu sendiri merupakan adaptasi dari Seven Samurai karya Akira Kurosawa. The Magnificent Seven versi 2016 ini dibintangi oleh Denzel Washington. Ini film bertema Western pertama bagi Denzel.

Film dibuka dengan adegan ketakutan penduduk kota Rose Creek terhadap pemilik modal Bartholomew Bogue (Peter Sarsgaard) yang memiliki usaha tambang emas di lembah dan ingin menguasai kota dengan merebut tanah penduduk. Bogue menyuap sheriff dan memiliki pasukan bersenjata untuk membantu memenuhi keserakahannya. Orang yang menentangnya tak segan-segan dihabisi di depan keluarganya.

Di tengah-tengah ketakutan, seorang wanita, Emma Cullen (Haley Bennett) yang kehilangan suaminya berniat menuntut balas dan menyewa seorang bintara Federal, Sam Chisolm (Denzel Washington). Mempunyai tujuan sendiri, sang bounty hunter pun menyetujui tawaran Emma dan merekrut orang-orang untuk membantunya. Maka, terbentuklah 'Tujuh Yang Luar Biasa' yang terdiri dari berbagai karakter. Ada penjudi, penembak jitu jebolan pasukan Konfederasi, pencari jejak, buronan dari Mexico, ahli pisau dari China, dan seorang Indian Comanche. 

Seperti biasa, Denzel bermain prima di film ini. Gaya di akhir film mengingatkan pada adegan di film The Equalizer (2014) yang juga dibintanginya. Karakter lain pun dimainkan dengan bagus, termasuk ketika si penembak jitu Goodnight Robicheaux (Ethan Hawke) harus mengatasi traumanya. Sayangnya, keindahan alam Western kurang tereksploitasi. Tapi, adegan menembak cepat bolehlah jadi suguhan menghibur.

Bagaimana mereka mengatasi si Bogue dengan pasukan bersenjatanya yang dilengkapi dengan 'Nafas Iblis' sebuah alat pembunuh? Silakan ditonton ya...terutama bagi penggemar genre western.


~ elha score: = 7/10

Wednesday, 14 September 2016

SULLY (2016)

Sebagian idenya mirip film Flight (2012) yang dibintangi Denzel Washington. Tapi itu kisah fiktif, sedangkan Sully (2016) berdasarkan kisah nyata Capt. Chesley 'Sully' Sullenberger.

Dikisahkan karena tubrukan dengan sekelompok besar burung, pesawat US Airways Flight 1549 mengalami mati pada kedua mesinnya. Pesawat yang hendak lepas landas dari LaGuardia Airport NewYork menuju Charlotte Internaional Airport terpaksa harus mendarat darurat. Setelah berkoordinasi dengan menara kontrol, Capt. Sully (Tom Hanks) dihadapkan pada beberapa pilihan: kembali ke LaGuardia atau mendarat di bandara Teterboro. Tapi, dia memilih mendaratkan pesawatnya di sungai Hudson dengan beberapa pertimbangan.

Keputusan ini berhasil. Ia mendaratkan pesawatnya tanpa insiden dan semua penumpang dan crew selamat. Aksi tolong-menolong diantara penumpang, crew pesawat, dan regu penyelamat terekam dengan baik. Mereka harus segera dievakuasi karena udara yang dingin pada saat itu.

Dibalik keberhasilannya dan disanjung sebagai pahlawan, Sully juga mengalamai depresi. Dia harus mempertanggungjawabkan keputusannya memilih alternatif mendaratkan pesawat di sungai - hal yang belum pernah dilakukan dengan aman dan selamat - ketimbang berbalik ke LaGuardia atau Teterboro. Tuduhannya adalah membahayakan/mempertaruhkan jiwa penumpang. Apalagi simulasi yang dilakukan oleh Komiet nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)-nya USA - dengan pertimbangan bahan bakar, jarak tempuh, ketinggian dan kondisi angin dan temperatur yang sama, menunjukkan bahawa pilihan kembali ke LaGuardia atau ke bandara Teterboro bisa dan lebih aman dilakukan.

Lalu bagaimana  nasib si Sully? Silakan ditonton dan dinikmati...

Film ini - seperti film Tom Hanks sebelumnya, Bridge of Spies (2015), lebih banyak mentitikberatkan pada kualitas dialog dan peran. Tom Hanks mampu melakukan keduanya dengan sangat baik, membuat penonton juga ikut mengalami rasa depresi dan ketegangan. Juga kelegaan dan kegembiraan. Jadi kalau lebih suka action, film ini bukan pilihan....:)


~ elha score : 8.5/10

Wednesday, 17 August 2016

TIGA DARA (2016, RESTORASI 4K)

Ini adalah film jadul yang direlease tahun 1956  karya sutradara terkenal masa itu, Usmar Ismail. Film ini direstorasi dengan format resolusi tinggi 4K yang memakan waktu sekitar 17 bulan pengerjaan. Film Tiga Dara merupakan salah satu project restorasi film-film klasik.

Terasa aneh saat pertama kali melihat trailer film ini. Maklum saja, di tengah-tengah film-film aksi dengan sound dan special effects yang bagus, hadir sebuah film drama bernuansa hitam putih dengan alur linear dan tata suara yang menurut ukuran sekarang biasa saja. Namun, film ini ternyata membuat penasaran untuk ditonton. Ketika menonton di BXc Bintaro, penonton bertepuk tangan tanda apresiasi terhadap film ini. Artinya memuaskan mereka.

Kecuali adegan aksi, film ini lengkap. Ada konflik, musik, lagu, dan tari. Serasa melihat film India.  Berkisah tentang tiga dara, Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Neni (Indriati Iskak). Mereka tinggal dengan ayah mereka, Sukandar (Hasan Sanusi), dan nenek (Fifi Young). Film dibuka dengan perayaan ulang tahun ke-29 Nunung, si anak pertama. Alih-alih membuat sang nenek bahagia, hari itu mengingatkan sang nenek pada usia cucunya yang dirasa harus segera lekas menikah. Maka, cerita pun bergulir tentang menemukan calon pendamping untuk si Nunung. Berbeda dengan adik-adiknya, Nunung berkarakter kurang pergaulan dan pemarah, sehingga laki-laki enggan mendekatinya.

Namun, sebuah peristiwa kecelakaan lalin membuatnya berkenalan dengan seorang pemuda, yang mulai rutin mengunjunginya di rumah. Ketika benih rasa suka mulai muncul di hati Nunung, sang adik - Nana - 'merebut' si pemuda darinya. Konflik pun terjadi. Bagaimana akhir kisahnya? Kemana cinta tertambat? Silakan ditonton ya...

Meski beralur linear film ini mampu membuat penonton penasaran menyaksikan hingga akhir film. Beberapa scene diselipkan komedi tentang kehidupan pemuda-pemudi masa lalu. Beberapa lagu dirasa perlu untuk mengekspresikan perasaan. Karakter tiga dara mampu diperankan dengan baik oleh pemeran. Nunung yang pasrah, kurang bergaul, dan pemarah. Nana yang modern-style, supel, dan agresif. Dan si bungsu - Neni - yang ceria, cerdik, dan solutif. Ketiga karakter ini mampu membuat jalinan cerita drama keluarga yang enak dinikmati, seperti klaim film ini: membikin terharu, tertawa, dan terpesona.

Nah, sebelum menonton versi kekiniannya, Ini Kisa Tiga Dara (2016), silakan bernostalgia dengan film klasik restorasi ini. Untuk melihat hasil before & after reatoration film ini, silakan klik link youtube ini:

https://www.youtube.com/watch?v=pNhvuqFNiLw


Sipp!


~ elha score : 8/10 
GT, 17 Agustus 2016 - merdeka!

Wednesday, 10 August 2016

SOLACE (2015)

Anthony Hopkins berperan sebagai Tom Clancy, seorang dokter yang juga memiliki kemampuan cenayang. Kemampuannya ini dimanfaatkan oleh FBI untuk memburu seorang pembunuh berantai. Namun, kali ini lawannya sepadan, atau bahkan lebih mumpuni karena juga memiliki kemampuan penerawangan seperti yang dimiliki Tom Clancy. Bahkan beberapa langkah jauh di depan.

Motif sang pembunuh berantai mengingatkan pada sepenggal kisah tentang perjalanan berguru Nabi Musa kepada Nabi Khidir. Ketika Nabi Musa memprotes Nabi Khidir yang mengakhiri nyawa seorang anak, dan dijawab bahwa anak ini kelak akan membuat susah orangtuanya. Mengakhiri hidupnya lebih 'bermanfaat' untuk dirinya, keluarga, dan bangsanya. Pada film ini, motif itu berganti menjadi mengurangi rasa sakit yang diderita korban.

Tentu saja, di jaman sekarang seoarang yang bertindak sebagai (wakil) Tuhan untuk menentukan hidup-matinya seseorang tanpa pertimbangan keadilan dan peradilan bertentangan dengan hukum. Meskipun sang pembunuh tidak merasa mewakili Tuhan, karena tidak terkesan dengan ciptaan-NYA. Karena itulah, agen Katherine Cowles terus memburu sang pembunuh berantai.
Namun alih-alih memburu, sang agen dan doktor justru dituntun oleh pembunuh berantai untuk menjalankan skenarionya. Bagaimana akhirnya? Silakan ditonton dan dinikmati...

Seperti biasa, Anthony Hopkins berperan watak dengan bagus. Berwajah dingin, menyimpan kenangan masa. Mirip dengan watak Hannibal di Silence of The Lambs (1991) minus kekejaman. Ini menutupi peran Collin Farrel sebagai pembunuh berantai (Charles Ambrose) dan Abbie Cornish sebagai agen Cowles. Beberapa alur cerita dibuat flashback untuk menegaskan motif pembunuh dan rasa keadilan.
Sejak awal film ini dibangun dengan nuansa ketegangan, dengan menampilkan korban yang mati dengan tenang di awal film, meskipun tak banyak darah tertampakkan. Jadi, kalau mau menonton mesti bersiap-siap dengan ketegangan ya...

Sipp!

~elha score: 8/10 


Wednesday, 20 April 2016

I AM WRATH (2016)



John Travolta is back. Kali ini bermain di film action I am Wrath (2016) sebagai Stanley Hill, seorang ayah bahagia yang mencintai keluarganya. Kebahagian ini tiba-tiba direnggut oleh sekelompok orang suruhan. Mencoba melalui jalur formal dengan melapor polisi untuk menemukan pembunuh istrinya dan mengadili, justru ia berhadapan dengan polisi korup.

Didera rasa bersalah terhadap istri dan putrinya, ia bersama kawan lamanya menuntut keadilan versi mereka. Stanley Hill pun kembali ke jati diri yang telah lama dikuburnya memburu gembong narkoba dan pejabat yang melindunginya.

Menonton film ini mau tidak mau mengingat kembali alur cerita film The Equalizer-nya Denzel Washington atau John Wick-nya Keanu Reeves. Sama-sama menggambarkan sosok jagoan yang hidup sendiri dan kesepian. Menyembunyikan masa silamnya, dan muncul kembali karena keadaan yang memaksa.

I am Wrath beralur linear dan sepertinya judulnya, ingin menggambarkan kekecewaan dan kemurkaan Stanley Hill pada nasib dan sistem. John Travolta cukup mampu berakting menggambarkan rasa murka ini, meski tidak sekeren di Pulp Fiction (1994) atau Face/Off (1997). Namun, rasanya tak bisa melepas sosok Robert 'Bob McCall di The Equalizer yang cool, tak banyak cakap, namun efektif bertindak. 

Secara keseluruhan film ini menghibur untuk ditonton, terutama yang suka jenis action dan tak mau mengerenyitkan dahi untuk memahami cerita hingga akhir.

Selamat menonton...

~ elha score: 6/10

JANE GOT A GUN (2016)

Jane Got A Gun direlease serentak di bioskop Indonesia hari Rabu ini, 20 April 2016. Film ini bergenre western-action dan bersetting tahun 1817 di kota New Mexico City, berkisah tentang seorang wanita yang karena karena suatu keadaan yang memaksa mesti berjuang demi keluarganya.

Adalah Jane Hammond (Natalie Portman) bersama sang suami Bill Hammond (Noah Emmerich) yang sedang membangun kehidupan baru dan telah menjauh dari jangkauan dan keterlibatan gangster John Bishop (Ewan McGregor). Namun, masa silam itu menemukan keberadaan mereka dan memburunya, sampai akhirnya si Jane harus turun tangan ketika sang suami terluka.

Sejak awal film sutradara Gavin O' Connor telah memberikan teka-teki kepada penonton tentang 'siapa Bill Hammond dan apa yang telah dilakukannya?'. Penjelasan teka-teki itu membawa penonton pada alur maju mundur dari tahun 1817 ke 1864 untuk memberi alasan logis kenapa gangster Bishop memburu keluarga Hammond. Meski bergenre sama, berbeda dengan The Hateful Eight (2015) yang mudah menumpahkan darah, JGAG terkesan lebih soft. Klimaks pertempuran baru di 25 menit terakhir film, walaupun di awal kita disajikan karakter Jane yang tidak segan-segan menghabisi lawan untuk membela diri.   

Sangat suka melihat penampilan Natalie Portman berbalut pakaian model akhir abad 19 yang panjang dan tertutup (jadi teringat film Brooklyn). Entah kenapa melihat wanita dengan busana panjang dan tertutup terkesan lebih sexy. Hmm...;). Namun, tak banyak yang ditawarkan pada scene panorama alam western, terkesan monoton dan suram. Berbeda misalnya ketika menikmati The Ravenant (2016) yang meski monoton bernuansa putih, namun terasa indah mengagumkan.  

Film ini menyiratkan sebuah kesetiaan dan ketegaran seorang wanita. Jangan kaget apa yang akan dilakukan seorang wanita untuk mempertahankan orang-orang yang dicintainya. Ketika disarankan untuk meninggalkan suami yang terluka - karena sebenarnya yang diburu adalah si suami, Jane membalas:

"...aku telah lelah berlari menghindar seumur hidupku, dan itu tidak menyelesaikan masalah. Harus aku hadapi untuk menyelesaikannya.."
   
Scene terakhir mengesankan. Ketika Jane menuju kota, menyobek poster-poster gangster untuk mengklaim hadiah, ia menyisakan satu poster. Gambar siapakah itu? 

Nah, sebelum menikmati tontonan cowboy western yang mulai ditayangkan hari ini, silakan dibaca-baca review-nya.

Sipp!

~elha score : 6/10      

Saturday, 16 April 2016

EYE IN THE SKY (2015)

"...ketakutan terbesar dalam perang bukan terletak pada seberapa banyak dan canggih senjata dan amunisi yang dibawa, tetapi pada hilangnya empati..."

Film ini pertama kali direlease di Toronto International Film Festival pada bulan September 2015, tapi baru beredar di bioskop komersial di bulan April tahun ini. Eye in the Sky bergenre drama suspence yang berkisah tentang tanggung jawab, moral, hirarki dan seluk-beluk pengambilan keputusan dalam menangani teror.

Adalah Kolonel Katherine Powell - diperankan dengan sangat bagus oleh Helen Mirren - yang mengepalai sebuah misi: Egret Operation untuk menangkap sekelompok teroris yang masuk daftar 5 besar buruan. Sekelompok teroris ini tinggal di sebuah rumah di Nairobi, Kenya, dan sedang dalam intaian Badan Intelijen Inggris dengan menggunakan pesawat tanpa awak drone dan perangkat canggih lainnya. Kolonel Powell sudah mengejar buruannya ini selama 6 tahun, dan ini adalah pecapaian terdekatnya. 

Kolonel Powell yang berada di markas di London berkoordinasi dengan kesatuan AU AS yang berada di Nevada untuk mengendalikan pesawat tanpa awak. Sedangkan di tempat lain di London berkumpul pejabat-pejabat terkait berkoordinasi, menyaksikan, dan memberi keputusan terhadap jalannya operasi.

Awalnya Operasi Egret ini hanya penggerebekan markas dan penangkapan sekelompok teroris, namun seketika berubah menjadi 'good killing', setelah mengetahui para teroris sedang merencanakan sebuah aksi bom bunuh diri. Konflik terjadi ketika di sekitar lokasi ada seorang anak perempuan, Alia (Aisha Takow) yang sedang menjajakan roti bikinan ibunya. 

Mission: abort or continue? 

Film ini menyajikan teknologi pengintaian, perang jarak jauh dipadu dengan dilema moral dan kemanusiaan. Sutradara Gavin Hood mampu membawa emosi penonton untuk menyayangi Alia dan keluarganya dengan menampilkan wajah polos anak Afrika yang suka bermain dan patuh pada orang tua. Juga mampu ikut merasakan perasaan Kolonel Powell yang geregetan menunggu keputusan birokrat, dilema moral yang melanda kedua pilot pesawat tanpa awak, Steve Watts (Aaron Paul) dan Carrie Gershon (Phoebe Fox), dimana jentikkan jarinya akan mengeksekusi target dan berdampak di sekitarnya. Kita pun disuguhi keriuhan birokrasi dari  pejabat terkait yang seolah-olah melempar tanggung jawab.

Selain Helen Mirren, Aaron Paul pun bermain prima sebagai seorang pilot yang mengalami dilema moral, antara tanggung jawab dan kemanusiaan, sedangkan Alan Rickman (alm) yang berperan sebagai Jenderal atasan Powell sepertinya tak bisa menghilangkan logat Snape-nya di serial Harry Potter.  

Meskipun plot cerita mengkisahkan Badan Intelijen Inggris sebagai pemeran utama, tak menafikan keterlibatan Amerika sebagai negara digdaya dengan mudah memberi ijin eksekusi sambil asyik main pingpong seolah-olah 'mengabaikan' dampak korban yang ditimbulkan. Asal buruan lenyap dari daftar. Hmm..wajar karena ini film produksi Holywood, yang umumnya mem-pakem-kan negaranya harus adidaya - setidaknya di film.
   
Bagi yang menggemari genre perang head to head, film ini mungkin tidak memenuhi selera. Namun, bagi yang menyukai 'permainan emosi' lewat dilema moral, intrik pengambilan keputusan di belakang layar keputusan perang, film ini jangan dicoret dari daftar tontonan.

Lalu bagaimana dampak dari sebuah perang? Quote di awal film bisa mewakili perasaan kita:

"..dalam perang, hal pertama yang dikorbankan adalah kebenaran.."


~ elha score: 9/10 



FAN (2016)



FAN adalah film SRK pertama yang release dan tayang di tahun ini. Pada film ini SRK berperan ganda sebagai big star, Aryan Khanna, dan seorang fan, Gauvran Chandna. Bukan kali ini saja SRK berperan ganda, sebelumnya pada Rab Ne Bana di Jodi (2008) ia melakukan peran yang sama. Sebagai bintang besar dan fans pun pernah ia lakukan di Om Shanti Om (2007) dan Billu Barber (2009).

FAN bercerita tentang seorang fan yang berkeinginan kuat untuk bertemu sang idola tepat di hari ulang tahunnya. Ia begitu terobsesi dengan Aryan Khanna, sang idola, dan meniru apapun yang pernah dilakukan sang bintang. Untuk pergi menemuinya di Mumbai ia harus menggunakan kereta api yang sama - tanpa membayar tiket, persis seperti yang dilakukan oleh Aryan saat mulai merintis kepopulerannya. Pun mesti menginap di hotel dan kamar yang sama. Ia tak rela jika ada orang yang melecehkan sang bintang, bahkan rela berkorban nyawa membelanya.

Merasa sebagai the real fan, Gauvran merasa berhak meminta Aryan Khanna untuk meluangkan waktunya selama 5 menit bersamanya. Apakah sang idola punya waktu di sela-sela kesibukannya? Hmm...mungkin yang dikatakan Gauvran ini bisa menjadi petunjuk: "Yang menciptakan seseorang menjadi bintang adalah fans. Sekarang saatnya seorang bintang mengejar fan"

Film FAN ini bergenre drama thriller. Sutradara, Manesh Sharma, berusaha mencoba membawa penonton menyelami emosi seorang fan(atik) di satu sisi dan seorang mega star di sisi lain, mencoba menyusun ketegangan diantaranya. Mestinya sang sutradara lebih mampu mengeksplorasi gap ini sehingga ketegangan antara fan dan idola lebih mampu mengaduk emosi penonton. Mungkin karena ini adalah film thriller pertama yang ditangani Manesh Sharma yang identik dengan drama komedi (Band Baaja Baaraat, 2010; Ladies vs Ricky Bahl, 2011; Shuddh Desi Romance, 2013). Seperti biasa, SRK bermain total sebagai dirinya sendiri maupun sebagai fan.

Patut diapresiasi kepada team tata rias SRK yang berperan sebagai Gauvran yang berusia sekitar 20 tahun-an. Untuk memperoleh hasil seperti itu, sutradara bahkan harus mendatang pakar tata rias langganan Oscar, Greg Cannom, yang telah memenangkan 3 piala Oscar.

Sebenarnya ada satu soundtrack berjudul Jabra Fan, tapi waktu menonton lagu ini tidak terputar. Mungkin karena menontonnya pas jam tayang terakhir bioskop, padahal enak buat bergoyang...;)

Pesan yang ingin disampaikan film ini antara lain: jadilah dirimu sendiri, jangan menjadi peniru. Sehebat apapun kita mampu meniru, seorang copycat takkan bisa sehebat yang ditiru.

Selamat menonton... 

~ elha score: 7.5/10    
   

Saturday, 9 April 2016

THE JUNGLE BOOK (2016)

Seperti Cinderella (2015), Disney rupanya konsisten dengan mengadaptasi cerita kasilk menjadi sebuah film sesuai cerita aslinya. Kisah The Jungle Book ini memang diadaptasi dari buku klasik populer berjudul sama karya Rudyard Kipling (1865-1936). 

Film diawali dengan narasi Bagheera (Ben Kinsley) yang menceritakan keberadaan seorang anak manusia, Mowgli (Neel Sethi), diantara kawanan serigala. Mowgli sedang belajar menjadi dan hidup sebagai seekor serigala, dan sayangnya - atau untungnya - ia tidak optimal melakukannya. Dalam beberapa kesempatan, secara naluri ia melakukan 'trik' yang biasa dilakukan seorang manusia.

"Aku tahu kamu tidak terlahir sebagai serigala, Mogwli. Tapi, berusahalah hidup seperti kawanan serigala lainnya", keluh Raksha (Lupita Nyong'o), ibu serigala angkat Mowgli.

Meskipun keberadaan seorang anak manusia di tengah rimba terasa aneh bagi kalangan hewan disana, mereka menerima Mowgli hidup bersama diantara mereka. Kembalinya Shere Kan (Idris Elba), seekor macan raja hutan, yang menentang keberadaan manusia di tengah hutan merusak keseimbangan itu. Mowgli harus pergi meninggalkan kawanan hewan untuk berkumpul dengan kawanan sesamanya. Rupanya, Shere Kan memiliki masa lalu yang melibatkan pertikaian antara dia dan manusia sehingga ia tidak mengijinkan manusia berada di sana. Kisah itu dan terdamparnya Mowgli di tengah hutan diceritakan di pertengahan film oleh seekor ular phyton raksasa, Kaa (Scarlett Johansson, salah satu aktris favorit penulis nih...). 

Mowgli pun berhadapan dengan dilema, antara tetap tinggal di hutan yang sudah sangat dikenalnya namun jiwanya terancam oleh Shere Kan atau pergi ke perkampungan manusia yang belum dikenalnya sama sekali.

Jalan mana yang akan dipilih Mowgli? Hmm...

Tantangan ketika mengangkat cerita klasik ke dalam sebuah film dengan plot yang sama persis dengan buku adalah kejenuhan penonton karena telah mengetahui akhir cerita. Karena itu, banyak cerita-cerita klasik yang diadaptasi ke sebuah film dalam versi kontemporer, misalnya Snow White and The Hunstman (2012), Maleficent - Sleeping Beauty (2015), Beauty & Beast (2015), dll. Namun, sutradara Jon Favreau berhasil mensiasati dengan menampilkan visual atmosfer hutan yang menarik. Ketika adegan film bercerita tentang kemuraman, visualisasi hutan menjadi remang dan monokrom, sebaliknya berwarna-warni ketika berkisah tentang suka ria dan kesenangan. Efek animasi pun cukup menghibur. Semua binatang yang tampil di film adalah hasil dari computer effect, hanya Mogwli saja yang diperankan oleh manusia.

Alur cerita mengalir linear sehingga mudah dipahami. Wajar, mengingat ini adalah film keluarga. Banyak pesan yang disampaikan film The Jungle Book ini. Diantaranya adalah agar selalu hidup dalam kawanan (berkelompok, bersatu), menjadi diri sendiri, dan menumbuhkan potensi fitrah yang sudah dimiliki. Di penghujung cerita ketika si Mowgli hendak berhadapan dengan Shere Kan dengan cara seekor serigala yang selama ini diajarkan, Bagheera menasehati:

"...Mowgli, kamu adalah seorang manusia. Gunakan trik sebagai manusia, jangan gunakan cara serigala untuk berhadapan dengan Shere Kan..."    

Ada beberapa scene film yang mau tidak mau mengingatkan pada adegan-adegan The Lion King (1994) karya Disney juga. Misalnya berkumpulnya para binatang di kolam air Tiga Batu mengingatkan berkumpulnya binatang saat menyambut kelahiran Simba di The Lion King. Juga adegan sekawanan kerbau liar yang berlari dan menyelamatkan Mowgli mengingatkan pada kawanan yang sama, namun menyebabkan tewasnya ayah Simba.

Selain film, biasanya Disney mempopulerkan soundtrack lagu yang mengiringi film itu. Tidak seperti Frozen (2013) yang soundtrack-nya melegenda, sampai dibuatkan 'sekuel' khusus untuk lagu tersebut, The Jungle Book sepertinya tidak mengulang sukses lagu-lagu di Frozen. Mungkin lagu di akhir film masih bisa dinikmati, meskipun tidak memorable.  ,   

Beberapa adegan pun memancing tawa penonton, meskipun tidak khusus ditujukan sebagai film komedi. Bahkan di beberapa bagian menampilkan kekerasan, karena itu rating film mencantumkan PG, agar orang tua siap memberi penjelasan kepada anak. Secara keseluruhan film ini layak ditonton bersama keluarga.

Yang masih menjadi pertanyaan penulis dan membuat penasaran adalah kekaguman Rudyard Kipling (atau sang sutradara?) terhadap hewan bernama gajah. Di salah satu adegan, Mowgli dan Bagheera harus perlu bersujud memberi hormat ketika sekawanan gajah melintas. Atau hal itu mungkin karena Rudyard Kipling lahir di India dan pernah tinggal disana dan kagum melihat sosok hewan besar yang tak ditemukannya di Eropa?

Wallahu'alam

- elha score : 8/10 


Friday, 8 April 2016

BROOKLYN (2015)

Film ini bergenre drama romatis, berkisah tentang seorang wanita muda Irlandia, Eilis Lasey (Saoirse Ronan), yang mencoba peruntungan dengan berimigrasi ke Amerika, meski  harus meninggalkan ibu dan saudaranya. Sang kakak mendukung keputusannya untuk memperoleh nasib yang lebih baik.

Di awal perantauan ia mengalami homesick parah yang membuatnya seolah menjadi pribadi yang tertutup dan canggung. Bergaul dengan teman-teman satu kost-nya pun belum mampu membuatnya lebih terbuka. Perkenalannya dengan seorang pemuda berdarah Italia, Tony Fiorello (Emory Cohen), ternyata mampu membuatnya menjadi Eilis yang sesungguhnya. Adegan di restoran saat dia lupa menikmati hidangan yang telah ia pesan saking asyiknya bercerita menunjukkan Eilis yang sesungguhnya telah lahir kembali. Adegan ini amat menarik ditonton.

"...terkadang kita menunggu orang yang tepat untuk memulai bercerita dan membuka diri..."

Adegan menarik lainnya adalah ketika Eilis diperkenalkan oleh Tony ke keluarga besarnya. Ia menyempatkan belajar cara makan spaghetti dengan benar, mempelajari kebiasaan keluarga Itali, termasuk hobby keluarga tersebut. Pun ada sedikit konflik ketika adik si Tony yang ceplas-ceplos gaya bicaranya menyatakan ketidaksukaannya pada orang Irlandia. (Mafia) Irlandia - Italia memang seperti kucing dan anjing berseterunya.

Di akhir kisah Eilis harus kembali ke Irlandia untuk menghadiri pemakaman sang kakak dan pernikahan temannya. Ia pun menghadapi dilema antara tetap tinggal di Irlandia meneruskan pekerjaan sang kakak dan menerima pinangan dari teman lama atau kembali ke Amerika menemui sang kekasih dan mengejar mimpi.

Manakah yang dia pilih?

Sangat suka menonton film ini ketika cara dan model berpakaian masyarakat masih sopan, etika pergaulan muda-mudi, dan kepada orangtua masih sopan dan santun. Pun ketika mengajak berkencan. O, ya setting film ini memang jadul, berkisar di awal tahun 1950-an.

Tak ada konflik ekstrem pada film ini, bahkan ketika Eilis harus memilih salah satu pria untuk jadi kekasihnya. Alur cerita mengalir biasa saja, namun memikat untuk dinikmati. John Crowley, sebagai sutradara, mampu menjaga irama ini. Di adegan akhir, kita akan tahu siapa yang dipilih Eilis 

elha score: 7.5/10



Wednesday, 6 April 2016

THE 10 CLOVERFIELD LANE (2016)

Lima menit pertama film diawali hanya oleh suara latar, suasana sunyi, dan kegelisahan Michelle (Mary Elizabeth Winstead), seorang fashion designer. Suasana pun terasa menegangkan. Dari awal sang sutradara memang berusaha mengidentikkan genre film ini sebagai thriller psikologis.

Michelle mengendarai mobil di jalanan sepi menuju entah kemana. Pertengkaran dengan sang kekasih membuatnya galau dan tak bisa berkosentrasi. Akibatnya terjadi kecelakaan yang membuat mobilnya terguling dan ia pingsan.

Siuman, ia menyadari berada di sebuah ruang tertutup. Ternyata ruangan itu adalah sebuah bunker yang dimiliki oleh seorang mantan marinir, Howard Stambler (John Goodman), yang terobsesi dengan keamanan diri akibat bencana nuklir atau serangan alien. Awalnya, Michelle tidak percaya dengan cerita Howard jika bumi sedang diserang alien dan udara di atas terkontaminasi. Namun, satu kejadian membuatnya shock dan meyakinkannya. Bersama Howard dan Emmet, si pembangun bunker, ia mencoba menikmati kebertigaan dan mengisi waktu luang bersama, menunggu keadaan di atas luar sana kembali aman.

Namun, peristiwa demi peristiwa membuka mata dan pikirannya bahwa ia sedang menghadapi seseorang yang terobsesi dan tidak segan berbuat kasar untuk mewujudkannya. Ia pun berusaha mencari cara dan peluang untuk keluar.

Ide bunker atau ruang sempit tertutup beserta ketegangan yang menyertainya mirip dengan Panic Room (2002) yang dibintangi Jodie Foster, atau Room (2015) yang pemeran wanitanya, Brie Larson, mendapatkan piala Oscar.

Mestinya ending film berakhir pada usaha Michelle meloloskan diri. Namun, sutradara mengajak penonton melihat alternatif lain yang bisa dikembangkan, jika film hendak dibuat sequelnya, bahwa obsesi seorang Howard bisa saja menjadi nyata. Alien memang muncul untuk menyerang bumi, meskipun ide ini memang terasa agak janggal.

Yang menarik adalah ketika Michelle berhasil lolos (untuk yang kedua kali) dan bergegas pergi dari area 10 Cloverfield Lane. Dengan berkendara mobil dan ia mendengar berita tentang penyerangan itu dari radio. Penyiar radio menginstruksikan penduduk untuk mengungsi menuju Baton Rouge, dan menginstruksikan setiap warga yang memiliki pengalaman bertempur atau medis untuk segera menuju Houston. Saat itu Michelle berada di persimpangan jalan antara lurus menuju Baton Rouge atau belok kiri menuju Houston. 

Manakah jalan yang akan ia pilih? Apa yang bisa diharapkan dari seorang perancang busana?

Mary Winstead (pernah bermain di Final Destination 3) dan John Goodman bermain bagus di film ini, saling mendukung sebagai wanita yang ketakutan dan terdesak sehingga melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan,  dan seorang tua yang 'belas kasih' namun penuh obsesi. Secara keseluruhan film ini bernuansa suram dan mampu menjaga ketegangan sampai akhir film, meski tak ada dialog yang bisa dijadikan quote di film ini. Bagi penikmat film bergenre thriller, film ini tak pantas untuk dilewatkan...;)

elha score: 8/10