Wednesday, 11 January 2017

LIVE BY NIGHT (2017)

"... jika Tuhan menulis ulang lagi al Kitab dan mencabut larangan (berjudi, mabuk, berzina dll.), akan aku hentikan khotbahku ..."

Setidaknya ada 2-3 dialog semacam itu sepanjang film. Setidaknya itu mewakili pandangan Ben Affleck yang menjadi pemeran utama sekaligus sutradara.

Film ini bergenre action yang mengambil setting di Boston pada awal tahun 30-an dimana para mafia dan gangster merajalela. Joe Coughlin (Ben Affleck), pemuda Irlandia veteran PD 1, kembali ke kota kelahirannya setelah perang usai. Alih-alih sebagai pahlawan perang, ia malah jadi kriminal dengan merampok klub atau bank. 'Bakat' ini mempertemukannya dengan Bos Mafia Irlandia yang sedang berseteru dengan kelompok Italia. Namun, persekutuan dengan Albert White (Robert Glenister), sang Boss Mafia Irlandia, buyar ketika sang boss membunuh kekasihnya. Joe pun memendam dendam. Dan itu dimanfaatkan oleh Maso Pescatore (Remo Girone), Gangster Italia, untuk menggerogoti kekuasaan Albert White di kota itu.

Atas perintah Maso, Joe pergi ke kota Ybor dan mulai menancapkan pengaruh di kota itu, sekaligus mengsmbil alih distribusi rum yang dikuasai oleh Albert White. Dengan intrik, suap, dan ancaman, Joe mulai berhasil menguasai kota. satu persatu penghalang dan lawan mulai ditaklukkan. Namun, ketika hendak medirikan sebuah kasino mewah di kota itu, ia mendapat tantangan dari seorang gadis cantik, Loretta (Elle Fanning). Sebuah dialog di kafe dan peristiwa tidak terduga, membuatnya berpikir ulang tentang apa yang telah dan hendak ia lakukan.

Apa yang Joe lakukan? Melanjutkan aturan yang sudah ada atau membuat aturan baru? Silakan ditonton...

Setelah bermain bagus di The Accountant (2016), mau tak mau perhatian penonton lebih banyak ke peran yang dimainkan Ben Affleck. Meskipun tetap berwajah dingin dan 'tak kenal ampun', di film ini Ben lebih banyak bicara dan menyungging senyum, terkesan ramah. Dua boss gangster dan Chris Messina sebagai Dion Bartolo, si tangan kanan Joe juga berperan bagus, mendukung peran tokoh utama. Elle Fanning mampu menampilkan gadis muda penuh semangat yang sedang mengajar mimpi sebagai bintang Hollywood, sekaligus sebagai sosok yang ringkih sekaligus berpengaruh sebagai pengkhotbah. Hanya saja, yang terakhir ini ia kurang menjiwai.

Jika kita membayangkan aksi film genre mafia ini seperti Scarface (1983) atau sekuel God Father yang melegenda,  kita tak akan dapat banyak. Ada beberapa pertempuran yang berdarah, ada balas dendam, seru namun tak sedramatis kedua film itu.

Sangat menarik melihat film yang dibangun sesuai setting-nya. Kita jadi belajar dan tahu karakter sebuah penduduk kota, kostum dan budaya pada masa itu, dll. Di film ini dijelaskan lewat narasi Dion Bartolo. Beberapa scene menampilkan pemandangan alam Amerika yang menawan.

Film ini memberi pesan yang sangat kuat tentang pembatasan (pelarangan) minuman keras, berjudi, prostitusi, dll. Ada sebuah dialog ketika Joe memberi ucapan selamat kepada Loretta ketika hanya dengan ucapannya yang berpengaruh mampu membuat masyarakat tergerak menolak pembangunan kasino. Loretta menjawab, tapi ia belum mampu menolak minuman keras karena menghilangkannya tak bisa secara frontal.

Sepertinya saya akrab dengan argumen seperti ini...;)

"Aku merasa surga itu sudah ada sejak disini (dunia)"
"Tapi kenapa seperti di neraka?"
"Karena kita telah merusaknya (dengan judi, mabuk)"


~elha score: 7.5/10     

Saturday, 7 January 2017

ARRIVAL (2016)

Sekadar peringatan bagi yang menyukai film dengan ritme cepat dan alur yang tak rumit, film Arrival (2016) ini jangan ditonton, he..he..

Adalah Louise Bank (Amy Adams), seorang ahli bahasa yang diperintah dan dijemput oleh Kolonel GT Weber (Forest Whitaker) perwira militer US untuk bergabung dengan team ke kamp militer di Montana. Bergabung juga disana seorang pakar fisika matematika, Ian Donnelly (Jeremy Ranner). Ternyata, di dekat kamp militer telah bertengger sebuah pesawat ruang angkasa berbentuk seperti tempurung, yang bukan milik manusia. Ada 12 pasang spacecraft yang tersebar di seluruh bumi. Hal ini menimbulkan prasangka dan kekacauan, takut kalau-kalau mahluk luar angkasa hendak menyerang bumi.

Kendala bahasa membuat kedua mahluk tak bisa berkomunikasi. Untuk itulah Louise dan Ian bergabung dalam team. Louise bertanggung jawab untuk menemukan cara agar bisa berkomunikasi. Ia berhasil menemukan komunikasi tulisan via simbol, sedangkan Ian bertugas menemukan pola matematis simbol tersebut. Problem muncul ketika berdialog dan mahluk extraterrestrial tersebut menuliskan kata "menawarkan senjata". Di belahan dunia yang lain, terucap "gunakan senjata". Hal itu makin membuat salah paham antar kedua mahluk, apalagi persepsi negatif manusia ketika didatangi oleh alien, mahluk luar angkasa.

Film ini banyak membahas tentang komunikasi, bagaimana satu kata bisa diinterpretasikan berbeda. Konotasi dan suasana hati pun turut mempengaruhi. Karena itu Louise mensyaratkan pertemuan dengan mahluk tersebut untuk bisa berkomunikasi. Ini seperti mengingatkan kita agar tetap berkomunikasi langsung alih-alih menggunakan media sosial yang minim interaksi fisik.

Lalu, bagaimana? Akan terjadi pertempuran ala Star Wars atau genre fiksi ilmiah ini mengikuti kisah Coccoon. E.T., atau film alien sejenis yang lebih ramah? Silakan disimak, ya...

Alur cerita berjalan lambat, berkilas balik ke masa ketika Louise berdialog bersama anak perempuannya yang meninggal karena kanker. Dialog-dialog ini membuka cakrawala Louise tentang diri dan kemampuannya sehingga mampu menemukan cara berdialog dengan mahluk alien tersebut. Meskipun lambat, penonton tetap 'dipaksa' duduk untuk mengetahui akhir kisah. Bentuk pesawat yang seperti tempurung tegak dengan ruang kosong yang anti gravitasi dan dinding kaca tempat berdialog merupakan ide yang orisinal. Menarik untuk disimak.

Meskipun karakter tokoh-tokohnya tidak ada yang luar biasa, penampilan Amy Adams yang seolah-olah menyimpan trauma kehilangan putrinya mampu memberi warna film dan membuat penonton penasaran. Jeremy Ranner sebagai pakar dan Forest Whitaker sebagai perwira US terkesan hanya sebagai pelengkap. 

Film ini membawa pesan tentang persatuan dan perdamaian antar bangsa dan umat manusia, juga alam semesta. Ada beberapa pesan filosofis tentang awal dan akhir (meski nonton lagi nih biar lebih paham, he..he..). Entah dengan penonton lain, di akhir film ketika bernarasi tentang awal dan akhir, saya bergumam: " Lho, kok!"

Sekali lagi, bagi yang menyukai alur yang linier dan cepat, film ini bukan tontonan yang mampu menghibur.



~ elha score: 7/10

Thursday, 5 January 2017

THE GREAT WALL (2017)

Ketika mendengar kata Great Wall atau Tembok Cina yang terbayang adalah sebuah bangunan dinding kokoh yang membentang sepanjang + 8000 km dan satu-satunya bangunan manusia yang tampak dari bulan. Pun membayangkan film dengan judul di atas adalah film kolosal, gegap gempita, dan luar biasa.

Tidak semuanya salah. Dan benar juga...

Film ini diawali dengan pengenalan karakter seorang William Garin (Matt Damon) sebagai seorang mantan serdadu bayaran dan kini pencuri culas. Bersama rekannya, ia hendak mencari powder hitam (bubuk mesiu) untuk dijual. Dikejar oleh sekelompok suku, ia terdesak di sebuah gua, dan 'tanpa sengaja' memotong lengan seekor monster. lengan ini membawanya masuk melewati the great wall yang dijaga ketat dan dipimpin komandan wanita, Lin Mae (Jing Tian). Ketatnya penjagaan dengan berbagai macam pasukan ternyata untuk mengantisipasi serangan mahluk monster Tao Tei yang berulang setiap 60 tahun.

Bagaimana kisah pertempuran antara prajurit tembok raksasa dengan para monster yang mirip raptor ini? Silakan ditonton di bioskop kesayangan anda...;)

Secara fisik, Matt Damon tetap menawan di film ini, terutama ketika tampil klimis. Namun jangan harap menyaksikan plot yang penuh intrik seperti di sekuel Jaon Bourne. Plot berjalan linear sehingga mudah disimpulkan. Karakter para tokoh pun terasa kurang greget, termasuk Andy Lau yang berperan sebagai Wang, si ahli strategi. Andi Lau sudah berusaha berperan bagus dengan menonjolkan kecerdasannya. Namun dibandingkan dengan Takeshi Kaneshiro, dengan peran ahli strategi juga, di film Red Cliff I & II, terasa sekali perbedaannya. Jing Tian sebagai Komandan Pasukan cukup memberi warna dengan kecantikannya. William Dafoe sebagai Ballard tetap konsisten denga peran antagonisnya. Tokoh-tokoh lain terasa sekali hanya sebagai pelengkap.

Seperti film-film lainnya, semacam Hero dan The Curse of Golden Flower, Zhang Yimou banyak menampilkan warna dan keragaman.Tampilan eksotik pemandangan sekitar dinding raksasa, kostum para pemain yang berwarna-warni, teknologi yang ada di balik dinding menolong minusnya plot dan klimaks film. Menurut saya ini bukan termasuk salah satu film terbaik karya Zhang Yimou, dan bukan peran terbaik Matt Damon.

Ketika melihat ribuan pasukan tempur di balik dinding dengan berbagai macam senjata, kita akan membayangkan pasukan lain dengan persenjataan tak kalah canggih siap menyerbu masuk ke dalam kota. Itu tidak terjadi, karena sang musuh bukanlah pasukan manusia. Mereka adalah binatang monster.

The Great Wall yang kokoh dibangun sang imperium untuk menangkal berbagai ancaman. Sebagiannya nyata, sebagian lagi legenda. 
Film ini tentang legenda...


~elha score: 6.5/10